Sunday, December 21, 2008

Untukmu Karaeng-ku

Bajimaki anne abbannang kebo’ karaeng
Naki bulomo sibatang
Cera’ sitongka-tongka
Nanipajappa nikanayya kuntutojeng
Assorong bokoi ero’na To tena kamasena
Aminasa dudutonga karaeng
Ampannepokangi pasorang
Ma’tanga parang
Ampanumbangngangi balembeng ma’bangkeng romang

Punna nia buranne karaeng rewanggang na inakke
Sere’lipa kuruai kusionjo’ tompo bangkeng
Kusikekke kamma lame kukamma mamo kicini karaeng
Tedong a’lagayya jarang sialle ganayya
Nampa kicinika Nh. Rifai Daeng Massuro
Campagana Bulukumba

Manna ka’kanying ilau
Bangkeng barakka kucini
Tamminasayya
Towali ri’turangangku
Eja tompiseng na doang karaeng
Tumbang tompi na nicini
Nanisombali tangkana sikalia



[sajak ini diadopsi dari janji I Mangngoppangi Daeng Ngutung dan I Pasanri Daeng Kancing di hadapan Karaeng Galesong]

Rekaman Awal Kepemimpinan Elit Lokal Karaeng Galesong

DR. H. Aminuddin Salle, SH., MH.
J. Bostan Daeng Mama’dja
Drs. Supriadi Hamdat, MA

Abstrak Makalah:

Galesong adalah sebuah komunitas yang cukup berperan dalam pentas sejarah Sulawesi Selatan, nama Galesong sudah tidak asing lagi terutama dalam hubungannya dengan kerajaan Gowa dalam menentang dominasi Belanda (VOC) di Sulawesi Selatan. Dan bahkan, nama Galesong menjadi populer ketika seorang rajanya ‘Karaeng Galesong’ membantu perlawanan Trunojoyo terhadap susuhunan Mataram, Amangkurat I.

Orang Galesong merupakan bagian dari masyarakat Makassar yang bermukim dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Takalar, Sulawesi Selatan. Dalam sejarah perkembangannya, Galesong sebagai sebuah komunitas dan bekas kerajaan berdaulat yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut’Karaeng Galesong’ memiliki kearifan tradisi-tradisi dan nilai-nilai budaya yang menjadi frame of reference komunitasnya. Dan hal lain dari sisi akedemis menarik untuk dikaji terutama berkenan dengan nilai-nilai budaya dalam kepemimpinan elit lokal dalam menyonsong otaonomi daerah.

Kajian mengenai nilai-nilai budaya kepemimpinan elit lokal sebagai salah atu dimensi sosial budaya masyarakat dapat membantu rencana pambangunan yang diwarnai stressing program dan proiritas-prioritas untuk menjawab situasi konkret masyarakat. Sebaliknya jika pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan menjadi problem bila menurut Peter L.Berger; menuntut korban manusia karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat.

Salah satu kearifan tradisi yang menjadi bingkai laku masyarakat Galesong adalah pranata adat dan kepemimpinan elit lokal ‘Karaeng Galesong’ yang masih sangat berperan dalam kehidupan komunitasnya.

Sejumlah sosiolog bersepakat bahwa pemimpin ialah seorang yang memiliki pengaruh atas orang lain, dalam arti bahwa pemikiran, kata-kata dan tindakannya mempengaruhi tingkah laku orang lain. Dalam tatanan birokrasi tradisional ‘Karaeng Galesong’ adalah panutan, simbol dari adat, semua sisi dari dimensi kehidupan seorang ‘Karaeng’, perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya, adalah pencerminan dari kelembagaan tradisional yang disebut ‘Pangngadakkang’ yang sarat dengan nilai-nilai kepemimpinan tradisional yang barangkali masih sangat relevan untuk diangkat ke permukaan menyonsong otonomi daerah.

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan rekaman awal sebuah penelitian mengenai Gaukang dan Kalompoang dalam komunitas orang Galesong. Gelesong dalam perkembangannya sebagai komunitas dan bekas kerajaan berdaulat cukup berperan dalam pentas sejarah Sulawesi Selatan. Nama Galesong sudah tidak asing lagi tewrutama dalam hubungannya dengan Kerajaan Gowa dalam menentang dominasi Belanda (VOC) di Sulawesi Sealatan. Dan bahkan nama Galesong menjadi populer ketika seorang Rajanya Karaeng Galesong membantu perlawanan Trunajaya terhadap Susuhunan Mataram Amangkurat I.

Dalam sejarah perkembangannya sekitar awal abad XV di masa kejayaan Kerajaan Gowa, di pesisir pantai selatan Selat Makassar, berdiri sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Galesong, dan diperintah oleh seorang raja, yang bergelar kare, yang selanjutnya berubah menjadi karaeng. Kerajaan Gelesong yang terletak di pesisir Selat Makassar mulai dari Aeng Towa di ujung utara dan berbatasan dengan Kerajaan Gowa sampai ke Mangindara di bagian selatan, dengan luas 68,10 Km2 dan terdiri dari 23 kampung, di mana 3 kampung di antaranya terletak di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa yakni, Tangke Jonga, Bonto Koddopepe, Pare’-pare’. Kampung tersebut merupakan pemberian Raja Gowa kepada Karaeng Galesong yang bernama I Mallarasang Daeng Magassing.

Kerajaan Galesong pada zamannya, membawahi sepuluh Daerah Kajannangang, dan Gallarrang, masing-masing:

  1. Gallarrang Aeng Batu-batu
  2. Lo’mo Sampulungang
  3. Jannang Campagaya
  4. Anrong Guru Bontolebang
  5. Anrong Guru Beba
  6. Gallarrang Bontomangngape’
  7. Jannang Mannyampa
  8. Jannang Kodatong
  9. Gallarrang Popo’
  10. Jannang Mangindara

Selain itu, Galesong juga menguasai pulau-pulau seperti Tanakeke, Bauluang, Sitangnga, Dandoangang[1]. Galesong secara kultur historis mewakili etnik Makassar dalam konstelasi perekonomian yang bercorak maritim[2].

Sekarang ini Galesong secara administratif merupakan wilayah Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Galesong sebagai sebuah komunitas Makassar dan bekas kerajaan berdaulat dari berbagai sisi memiliki kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya yang menjadi frame of refrence komunitasnya, terutama nilai-nilai tradisional dalam kepemimpinan elit lokal Karaeng Galesong, yang berangkali masih sangat relefan untuk diangkat ke permukaan dalam rangka menyonsong otonomi daerah atau dengan perkataan lain apakah nilai-nilai tradisional tersebut masih gayut diaktualkan.

Kajian mengenai nilai-niali tradisional dalam lokal sebagai salah satu dimensi sosio-kultural masyarakat dalat membantu rencana pembangunan yang diwarnai stressing program dan prioritas-prioritas untuk menjawab situasi kongkrit masyarakat terutama menyangkut pemberdayaan komunitas lokal menyongsong otonomi daerah. Hal ini sangat urgen untuk menghindari pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-niali budaya masyarakat lokal, yang pada akhirnya akan bermuara menjadi problem bila menurut Peter L. Berger menuntut “korban manusia” karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat[3].

Nilai-nilai Tradisional Dalam Kepemimpinan Elit Lokal Karaeng Gelesong

Dalam persfektif sosiologis yang disebut pemimpin ialah seseorang yang dapat memiliki pengaruh atas orang lain, dalam arti bahwa pemikiran, kata-kata dan tindakannya mempengaruhi tingkah laku orang lain. Dalam tatanan birokrasi tradisional seorang pemimpin, raja ataukaraeng adalah panutan, simbol dari adat, semua sisi dari kehidupan seorang keraeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan dari kehidupan dan kelembagaan tradisional yang disebut Pangadakkang.

Dalam sistem kepemimpinan tradisional sebagaimana yang ditampilkan oleh raja karaeng di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di daerah Makassar pada khususnya menunjukkan bahwa model-model kepemimpinan raja-raja bersumber dari naskah lontara[4]. Sebagaimana, ditegaskan oleh Mattulada bahwa dalam sistem kepemimpinan tradisional seperti yang tersirat dan tersurat dalam naskah lontara, rakyat, raja atau kelompok bangsawan (penguasa) merupakan unit sosial yang utuh. Dua komponen sosial ini pada hakekatnya tidak terpisahkan[5]. Mekanisme kehidupan politik dan sosial-budaya saling terkait dalam struktur sosial. Oleh sebab itu, menyebabkan sistem tingkatan sosial masyarakat bersifat terbuka[6].

Dalam tatanan kepemimpinan elit lokal Karaeng Galesong, nampaknya tidak jauh berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional di beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Gowa dan Tallo. Bahwa landasan utama dalam sistem kepemimpinannya senantiasa berpijak pada adat yang termaktub dalam lontara. Berdasarkan ajaran lontara itu, moral kepemimpinan bagi seorang raja atau karaeng sangat mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, faktor moral merupakan faktor yang sangat menentukan berjaya dan tidak berjayanya seorang pemimpin, raja atau karaeng/penguasa di masyarakat. Moral merupakan landasan dan kriteria utama dari rakyat yang dipimpinnya. Apabila moral seorang pemimpin atau raja telah dinilai terpuji oleh rakyatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa adat akan mendukungnya, pemimpin atau karaeng yang bersangkutan senantiasa mendapat simpati dari rakyatnya. Kesediaan berkorban dari anggora masyarakat, termasuk kerelaan mengorbankan harta bendanya dan bahkan jiwanya yang paling berharga, akan terus mendukung bila moral seorang pemimpin atau penguasa memperlihatkan pula kesediaan untuk berkorban guna kepentingan rakyatnya. Artinya sosok seorang karaeng senantiasa menjadi pelindung rakyatnya, tidak memperkosa hak rakyatnya, dan menyayangi rakyatnya seperti sang raja/karaeng menyayangi diri dan keluarganya. Sebaliknya, bila moral sang raja/karaeng, tidak terpuji seperti hanya mementingkan diri dan keluarganya saja, berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara di masyarakat, egoistis, serakah (korup), menindas rakyat dan dikuasai oleh nafsu angkara murka. Maka tak ayal lagi sang raja yang bersangkutan akan dibenci oleh rakyatnya[7].

Suatu cuplikan dalam tradisi lisan yang terdapat dalam komunitas orang Galesong yang mencerminkan bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki moral yang baik antara lain diungkapkan sebagai berikut:

Ikambe juru mudia = Wahai pemimpin
Jarreki tannang gulinnu = Perkuat pasang kemudimu
Nu tea lalo = Jangan sekali-kali
Toali riminasannu = Berpaling dari harapan
Punggawa teako jekkong = Wahai pemimpin jangan berbuat curang
Sawi teako ngarui = Sawi/pengikut janganlah resah
I rate konteng = Di atas perahu
Toddok puli minasaya = Tetapkan harapan kita

Tradisi lisan tersebut di atas mencerminkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berbuat curang, dia sebagai sosok manusia yang menetapkan dan mengarahkan tujuan dan kemaslahatan orang banyak, orang yang dipimpin pun harus seia-sekata dengan pemimpinnya.

Kriteria moral kepemimpinan yang diharapkan oleh masyarakat dalam sebuah negara adalah berkaitan dengan moral agama (iman dan amal), maupun konsep hidup dalam tatanan interaksi sosial di masyarakat. Penilaian moral ini tidak hanya ditujukan pada pribadi sang Karaeng saja, tetapi juga segenap anggota kerabatnya. Khususnya terhadap sikap keluarga ini mutlak harus diperlihatkan sikapnya yang tegas di masyarakat jika sang penguasa berkeinginan dihormati dan dipatuhi perintahnya. Sebab jika dia bersikap tegas hanya kepada rakyatnya saja, sedangkan kepada keluarganya/kerabatnya memperlihatkan keraguan untuk bertindak tegas, bahkan berusaha melindungi kesalahan yang dibuat oleh keluarganya, maka jelas rakyat akan sukar mendukung kepemimpinannya dan bahkan akan mendapat cacat sosial dari rakyat yang dipimpinnya.

Sumber lontara menyatakan bahwa adat identik dengan hukum yang harus diikuti dan dipatuhi oleh rakyat termasuk kelompok bangsawaan/kerabat karaeng dan Raja sekalipun. Adat tidak mengenal cucu, tidak mengenal penguasa, tidak mengenal orang kaya, mislin, tidak mengenal kelompok aristokrat, pendek kata adat atau hukum harus ditegakkan oleh setiap raja/karaeng yang berkuasa demi terwujudnya rasa keadilan di masyarakat. Sebagai contoh, bagaimana bila ada raja/karaeng yang tidak bermoral selama bertahta? Apa tindakan rakyat yang menjadi korban kezalimannya itu? Dalam lontara, cukup banyak diuraikan tentang tindakan rakyat terhadap raja dan penguasanya yang tidak bermoral selama memerintah. Contoh yang menarik disajikan di sini adalah; I Tepu karaeng daeng Parabbung, Raja Gowa XIII, karena perbuatannya yang sewenang-wenang terhadap rakyat, termasuk berlagak angkuh terhadap para pembesar di Gowa dipecat dari jabatannya dan akhirnya pergi ke Luwu dan menetap di sana[8]. Contoh lain dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Galesong yang pernah terjadi pada tahun 1877-1878, yakni seorang warga masyarakat melakukan salimara’ yaitu hubungan seks yang tidak wajar dengan saudara perempuan tirinya. Walaupun tindakan pelanggaran itu telah dikenakan hukuman berdasarkan peraturan Hindia-Belanda, tetapi oleh masyarakat dipandang tidak menjamin kesucian masyarakat apabila tidak dikenakan sanksi adat. Karena itu Lo’mo’ Sampulungang meminta kepada Kontrolir Kooreman agar menyerahkan pelaku kejahatan itu kepada penguasa adat, karena kejahatan yang demikian itu menurut adat harus dibunuh dengan memasukkan kedua orang yang melakukan hubungan seks tidak wajar itu ke dalam satu karung dan ditenggelamkan[9].

Berdasarkan kedua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa dalam sistem kepemimpinan tradisional / elit lokal kedudukan seorang Karaeng, sikap dan tingkah lakunya senantiasa berpangkal pada adat dan sistem hukum sebagaimana yang terdapat dalam pranata sosial masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya jika rakyat yang melanggar ketentuan adat, maka rakyat yang melakukan pelanggaran tersebut mutlak dikenakan sanksi adat. Contoh ini merupakan fakta sejarah untuk melihat bagaimana kedudukan seseorang sama di depan hukum tanpa membedakan posisi sosialnya di masyarakat.

Selain faktor moral yang merupakan landasan kriteria seseorang layak menjadi pemimpin, dalam lontara juga dinyatakan bahwa apabila seorang raja atau putra mahkota telah disetujui oleh adat atau dewan kerajaan termasuk raja yang berkuasa, maka seyogyanya sebelum dia memangku tahta atau jabatan kerajaan mutlak harus melakukan partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat mengetahui kehidupan rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain raja/karaeng belajar menjadi rakyat, mencoba mengidentifikasi persoalan yang dihadapi rakyat, memahami apa yang menjadi keinginan rakyatnya, kerisauan hati rakyatnya[10]. Partidipasi seorang raja/karaeng untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat merupakan suatu tindakan untuk lebih memudahkan seorang raja/karaeng menetapkan suatu keputusan atau kebijkana mengenai persoalan yang dihadapi oleh mesyarakat. Apabila unsur-unsur tersebut di atas telah terpenuhi maka akan menambah derajat kepanutan masyarakat terhadap karaeng.

Berkaitan dengan konteks di atas ada baiknya di ketengahkan pemikiran yang terkandung dalam lontara yang berkaitan dengan masalah moral seorang raja/karaeng/ bangsawan terhadap rakyatnya. Pemikiran itu menyebutkan sebab musabab kehancuran sebuah negara sebagaimana pernyataan Karaeng I Mangadaccing Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang;

Nakana Karaenga lima pammanjenganna matena butta lompoa uru-uruna punna tea nipakainga’ karaeng ma’gauka makaruanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangan lompoa; maka talluna, punna mangngalle soso’gallarang ma’bicaraiya; maka appa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangan lompoa; maka limana punna tana kamaseangnga atanna karaeng ma’gauka.

Artinya: ada lima faktor yang dapat meruntuhkan suatu negara besar. Pertama, raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, tidak ada orang pandai, kelompok cendekiawan dalam negeri besar; ketiga, para hakim dan pejabat kerajaan dapat disuap; keempat, terlampau banyak masalah besar dalam negara tersebut; kelima, raja tidak mencintai rakyatnya.

Kelima faktor yang diceritakan oleh Karaengta ini merupakan penyakit masyarakat atau negara. Bila sang penguasa tidak memiliki atau rendah moralnya. Dalam konteks itulah, kualitas moral harus diperhatikan oleh seorang raja/karaeng selama masa pemerintahannya. Bagaimana agar moral seorang raja atau karaeng dapat dikontrol? Dalam hal ini pentingnya budaya siri berperan dalam kehidupan masyarakat[11].

Dalam sistem pemerintahan di kerajaan Galesong pada umumnya dikenal dengan sistem Demokrasi Terpusat pada kekuasaan karaeng sebagai pemimpin yang kharismatik. Para karaeng langsung berhadapan dengan rakyatnya karena ia memiliki atau pemilik kalompoang dan membentuk pola kepemimpinana yang dikenal sebagai PamminawangngangTojeng (kepemimpinan langsung).

Munculnya konsep kepemimpinan langsung pada masyarakat di Kerajaan Galesong bersumber pada konsep kalompoang dan gaukang yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan supranatural. Oleh karena itu, kalompoang dan gaukang mengandung kebesaran atau kehormatan. Kalompoang dan gaukang merupakan atribut kerajaan. Konsep gaukang lebih menunjukkan pada benda dan hasil perbuatan (Gau=berbuat), sedang konsep kalompoang lebih mengaitkannya dengan jabatan tertentu, dan benda-benda tertentu yang ditemukan secara ajaib dengan bentuknya yang ajaib pula. Kooreman mengatakan bahwa gaukang adalah sebuah benda yang aneh bentuk ataupun warnanya, dapat berupa sebuah batu, sepotong kayu, buah-buahan tertentu, sepotong kain atau kadang-kadang senjata atau perisai dengan kekhususan tertentu. Pendeknya dia adalah benda aneh, yang diketemukan atau didapat dengan cara yang aneh, rahasia atau dengan cara yang luar biasa. Gaukang di Galesong misalnya berupa batu dengan rupa mirip tubuh manusia[12].

Sebuah kalompoang dapat berupa benda pusaka kerajaan atau benda-benda peninggalan tokoh yang dinyatakan turun dari khayangan yang mereka nobatkan sebagai peletak dasar kerajaan. Benda ini merupakan jaminan pengabsahan yang memberikan kesaksian bahwa pemegang telah memiliki kekuasaan sebagai perwalian pemilik utama kekuasaan yang berasal dari kalompoang dengan demikian pemegang kekuasaan itu akan bekerja sesuai petunjuk pemilik utama kekuasaan itu bagi kesejahteraan dan ketertiban masyarakat[13].

Pemilik gaukang dan kalompoang berhak untk duduk pada puncak kekuasaan untuk memimpin suatu kaum atau negeri dan dinobatkan sebagai pemimpin atas dasar keabsahan gaukang dan kalompoang. Dalam lingkungan Karaeng Galesong, gaukang dan kalompoang merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, Karaeng Galesong diterima dan dihormati sebagai pemimpin Pamminawangngang tojeng. Selain itu, kalompoang atau gaukang berkaitan erat dengan anggapan masyarakat bahwa melalui benda itu pemegang, penerima kekuasaan dan akan terikat ikrar kepatuhan, ketaatan dan tata tertib yang diwarisi oleh pendiri kerajaan, sehingga dapat memikat pengakuan dan ketaatan dari rakyat bahwa seseorang yang dianugrahi memiliki kalompoang dan gaukang pada dirinya tercermin kepemimpinan karismatik yang pada akhirnya bermuara pada kedudukan seorang karaeng sebagai pemilik kallabbirang (kemuliaan), kacaraddekang (kepintaran), kabaraniang (keberanian), kakalumayyangang (kekayaan).

Seorang pemimpin adalah panutan, ia adalah simbol dari adat, semua sis dari dimensi kehidupan seorang pemimpin atau karaeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan panggadakkang. Di satu sisi karaeng sebagai suatu sosok tunipinawang (panutan) sedangkan rakyat sebagai sosok tumminawang (pengikut).

Sumber lotara mengatakan bahwa seorang pemimpin ideal apabila memiliki empat syarat kepemimpinan yaitu:

1. Kacaraddekang (kepintaran)

2. Lambusu’ (kejujuran)

3. Kabaraniang (keberanian)

4. Kakalumanyangang (kekayaan)

Seorang pemimpin yang cerdas, cendekia memimliki empat unsur: a) Orangnya cinta pada perbuatan yang bermanfaat; b) Orangnya suka pada kelakuan yang menimbulkan kamaslahatan; c) Orangnya jika menemukan persoalan selalu berusaha mengatasinya; d) Orangnya jika melaksanakan segala sesuatu selalu berhati-hati.

Adapun sifat lambusu’ atau jujur berlawanan dengan sifat jekkong (curang). Lambusu’ ; kejujuran mengandung empat hal utama yaitu:

1. Tutui (berbuat cermat)

2. Baji bicara (bicara yang benar)

3. Anggau’ baji (melakukan perbuatan yang bermanfaat)

4. Kuntu injeng (bekerja dengan penuh kesungguhan dan bertanggung jawab)

Dikatakan pula bahwa seorang pemimpin yang jujur mencerminkan pribadi pemaaf artinya jika orang berbuat salah padanya, dia lantas memberi manfaat, jika diserahi amanat, dia tidak khianat, jika bukan bagiannya dia tidak menserakahinya, dia bekerja untuk kebaikan orang banyak, bukan untuk dirinya.

Kabaraniang atau sifat pemberani pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni:

1. Tammallakkai nipariolo artinya tik takut jadi pelopor

2. Tammallakkai nipariboko artinya tak takut berdiri dibelakang dalam artian memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih potensial (bersikap demokratis)

3. Tammallakkai allangngere’ kabara artinya tak gentar mendengar kabar baik maupun buruk, menerima kritik dan saran dari orang lain, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu

4. Tammallakkai accini bali’ artinya tak gentar menghadapi lawan, baik dalam berunding maupun berperang, tegas dan konsisten

Berdasarkan cerita lisan yang berkembang di dalam masyarakat Galesong bahwa sifat pemberani telah dibuktikan oleh sejumlah orang Galesong dalam menentang dominasi Belanda di tanah Makassar. Diceritakan bahawa I Mangngopangi Daeng Ngutung pernah mengucapkan janji dihadapan Karaeng Galesong, antara lain:

Bajimaki anne abbannang kebo’ karaeng Pada saatnya kita harus berikrar
Naki bulomo sibatang Bahwa kita harus bersatupadu, seia-sekata
Cera’ sitongka-tongka Kita jalankan bahwa yang benar adalah benar
Nanipajappa nikanayya kuntutojeng Dan yang batil adalah batil
Assorong bokoi ero’na Balandayya Kita hancurkan semua kehendak Belanda
Aminasa dudutonga karaeng Niatku begitu mendalam wahai sang raja
Ampannepokangi pasorang Untuk mematahkan senjatanya
Ma’tanga parang Di tengah medan perang
Ampanumbangngangi balembeng ma’bangkeng romang Kuruntuhkan bagai gunung di tepi hutan
Punna nia buranne karaeng rewanggang na inakke Jikalau ada lelaki yang lebih jantan dari saya karaeng
Sere’lipa kuruai kusionjo’ tompo bangkeng Satu sarung kami berdua saling berantam
Kusikekke kamma lame kukamma mamo kicini karaeng Saling merobek
Tedong a’lagayya jarang sialle ganayya Bagai kerbau yang berlaga, kuda yang beringas
Nampa kicinika I Mangopangi Daeng Nguntung Lihatlah I Mangopangi Daeng Ngutung
Campagana Bulukumpa Campagana Bulukumba

Sesudah I Mangopangi lalu berdiri I Pasanri Daeng Kancing bersumpah:

Manna ka’kanying ilau Walau awan berarak di barat
Bangkeng barakka kucini Hujan badai yang kulihat
Tamminasayya Tak kuinginkan
Towali ri’turangangku Kembali ke kampung halaman
Eja tompiseng na doang karaeng Biarkan merah barulah dikatakan udang
Tumbang tompi na nicini Biarkan runtuh baru dilihat
Nanisombali tangkana sikalia Kita layarkan orang berkata tegas

Setelah itu, disusl kemudian I Yumara berikrar:

Bannang ejayya ri Bajeng

Benang merah dari bajing

Tassampea ri Galesong

Yang tersangkut di Galesong

Tappuki na tamkombeka

Putus tapi tak kendor

Anrai-raiki karaengku

Ke timurlah wahai raja

Inakke irayanganta

Saya lebih ke timur lagi

Kalakalaukki karaengku

Ke baratlah wahai raja

Inakke ilaukanna

Saya lebih ke barat lagi

Karaengku jammeng

Rajaku wafat

Ikambe lingka tongiseng ri anja

Kami meninggal jua

Pangkai jeraku karaeng

Tetaklah kuburanku wahai raja

Tinraki bate onjokku

Patok bekas telapak kakiku

Tena kuero karaeng lari ri parang bali

Tak kuingin lari dari medan perang

Nakiciniki I Yumara Daeng Mapasang

Lihatlah I Yumara Daeng Mapasang

Bannang ejana Bajeng

Benang merah dari Bajeng

Panjarianna tumanurunga ri Ko’mara

Keturunan tuanurunga’ ri Ko’mara

Selanjutnya kekayaan memiliki pula empat unsur, yakni:

1. Tumakurangi ri nawa-nawa, artinya tak kehabisan inisiatif, penuh kreatifitas.

2. Tumakkurang ri bali bicara, artinya tak kekurangan jawaban, kaya akan pengetahuan.

3. Masagena ri sikamma gau, artinya mahir dan terampil dalam setiap pekerjaan.

4. Tamakurangi ri sikanna pattujuang, artinya tak kekurangan usaha karena memiliki modal.

Selanjutnya dalam menjamin keikutsertaan rakyat kepada pemimpin, dalam kalangan masyarakat Makassar pada umumnya dan komunitas lokal di Dalesong pada khususnya dikenal pula prinsip-prinsip prilaku kepemimpinan tradisional, sebagai berikut:

1. Mallakko ri Karang Allah Taala Bertakwalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu simbol kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimpin.

2. Atinna tauwa nupa’lamung-lamungi Tanamlah suatu kebaikan kepada orang banyak (orang yang dipimpin). Dalam hal memupuk rasa cinta dan kebersamaan.

3. Allei riwaya pelaki ruwaya Ingat setiap perbuatan orang lain kepadamu dan kesalahanmu atas kekeliruanmu kepada orang lain, serta lupakan perbuatan baikmu kepada orang lain dan perbuatan salah orang lain kepadamu. Hal ini penting untuk integritas masyarakat.

4. Cakkoi assalainu Sembunyikan asal keturunanmu biarkanlah orang lain yang menelusuri asal usul kita dari pada kita mengembar-gemborkan. Penting untuk mempertahankan wibawa.

5. karaengi tauwa assala’ mutowai Hormatilah orang yang diperintah (dipimpin) sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif.

Dalam kepemimpinan elit lokal di Galesong, ciri kepemimpinan maupun efektifitas kepemimpinan ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian yang multidimensional. Antara lain bahwa kepemimpinan masyarakat senantiasa memperlihatkan aspek demokratis yang sejak dulu menjadi bagian sikap kepemimpinan yang diharapkan, sehingga tidak saja berdasar kepada keturunan juga menuntut kemampuan, kecerdasan dan dukungan masyarakat.

Suatu cuplikan yang mencerminkan aspek demokratis ketika terjadi pemilihan Raja Galesong XVII pada tanggal 6 Agustus 1952, di mana tiga orang calon dipilih langsung oleh sejumlah tokoh-tokoh masyarakat tani dan nelayan, kepala-kepala kampung, gallarang, jannang, anrong guru, dan imam-imam kampung. Pada pemilihan tersebut disaksikan oleh Residen A. Mangkulla Dg. Parumpa yang mewakili Gubernur. Hasil dari pemilihan tersebut diketahui bahwa:

a. A.J. Bostan Dg. Mama’dja memperoleh 85% suara.

b. Abd. Kadir Dg. Toto memperoleh 10% suara.

c. Nurung Dg. Tombong memperoleh 5% suara.

Penutup

Berbicara tentang aktualisasi niali-nilai tradisional dalam kepemimpinan komunitas lokal di Galesong pada dasarnya tidak terpisahkan dari lembaga adat yang disebut pangngadakkang. Sebagaiman yang dikatakan oleh Mattulada bahwa adat istiadat dalam masyarakat Bugis-Makassar merupakan salah satu kekuatan untuk menopang kelangsungan hidupnya. Dalam masyarakat tersebut terdapat seperangkat tata nilai sebagai salah satu unsur yang diyakini dan menjadi frame of reference tentang bagaimana seharusnya seseorang berbuat, bersikap dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai itulah yang memepengaruhi dan kadang-kadang dapat dikatakan “membentuk” keseluruhan “sikap” masyarakat terhadap satu orientasi, dan itulah yang muncul atau terpolakan ke atas permukaan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam masyarakat Makassar pada umumnya dan komunitas orang Galesong pada khususnya, lembaga adat pangngadekkang yang sarat dengan nilai-nilai utama yang terhimpun dalam sejumlah lontara termaktub berbagai aspek dan nilai-nilai kepemimpinan yang menjadi acuan rakyat dan raja atau karaeng (kelompok bangsawan) ataupun pemerintah tentang siapa yang pantas dan tidak pantas dijadikan sebagai pemimpin. Dengan demikian pengambilan peran setiap anggota masyarakat pada dasarnya berpatokan pada hukum-hukum, norma-norma dan aturan-aturan adat yang mengatur tingkah laku pendukungnya. Itulah yang menyebabkan kita dapat menelusuri pranat sosial, kelakuan berpola dari masyarakat pendukung kebudayaan itu. Adat tata kelakuan dama masyarakat Makassar, dilihat dari tingkah laku berpola dalam berkomuniti dan dalam hubungan kekerabatan.

Tingkah laku berpola dalam erkomunitas menyangkut pranata yang mengatur tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat. Hal ini menyangkut nilai-nilai budaya dalam penataan pemerintahan. Pranata seperti ini disebut “Siri Butta” yang secara berurutan diatur oleh ada’ butta. Ada’ butta merupakan adat tata kelakuan bernegara yang menata kelakuan berpola dari anggota-anggota kesatuan kenegaraan menuntut kejujuran setiap warga untuk mematuhi segala hukum, norma, dan aturan kenegaraan dan bertanggung jawab terhadap keutuhan, keamanan dan ketertiban masyarakat[14].

Akhirnya secara hipotetik dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kepemimpinan dan kelembagaan tradisional yang terdapat dalam masyarakat Makassar, dan komunitas orang Galesong kelihatannya masih tetap relevan dan perlu diaktualkan, diimplementasikan dalam program-program pembangunan khususnya pembangunan desa dan daerah dalam sistem kepemimpinan di daerah senantiasa terkait dengan aspek kebudayaan. Sebagaimana dikatakan oleh Schein: Culture and leadership are really two sides of the same coin one can not understand one without the other[15].


Tulisannya kurang jelas (fotocopy).

Daftar Pustaka

Abdullah, Hamid

1991 Andi Pangerang Petta Rani Profil Pemimpin yang Manunggal Dengan Rakyat, Gramedia Widya Sarana Indonesia. Jakarta

1985 Manusia Bugis-Makassar, Inti Idayu Press. Jakarta

Ahimsah, Heddy Shri

1988 Minawang Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Latif, Abdul

1994 “Galesong Di Masa Lalu, Studi Tentang Sejarah Maritim di Sulawesi Selatan”. Lembaga Penelitian, Unhas. Ujung Pandang

Mama’dja, A. J. Bostan Daeng

1988 Sejarah Kerajaan Dan Perjuangan Karaeng Galesong Pada Abad XV – XIX (tidak dipublikasikan)

Manyambeang, A. Kadir (dkk)

1983 “Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar”, Universitas Hasannudin. Ujung Pandang

Meko, Frieds

1998 “Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Lokal dalam Pembangunan”. (Kompas, 12 Februari 1998)

Mg, A. Muin

1977 Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulsera “Siri” dan “Pacce”, Mappress. Ujung Pandang

Mattulada

1975 Latoa, Tesis Doktor UI. Jakarta

1974 “Bugis-Makassar Dalam Manusia dan Kebudayaan” Dalam Berita Antropologi Terbitan Khusus No. 16

Paeni, Mukhlis (dkk)

1986 “Kepemimpinan dan Kelembagaan di Sulawesi Selatan” (makalah) Seminar Nasional HIPIIS. Ujung Pandang

1987 Dinamika Bugis-Makassar, Sinar Krida. Ujung Pandang

Patunru, Abdul Razak Daeng

1969 Sejarah Gowa, YKSSP. Ujung Pandang

Rahim, A. Rahman

1992 Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Hasannudin University Press. Ujung Pandang

Schein, E. H.

1988 Organizational Culture and Leadership: A Dinamic View Jossey-Bass Inc Publisher. San Fransisco


* Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Internasional “Mangawali Abad ke-21: Menyonsong Otonomi Derah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa”, pada tanggal 1-5 Agustus 200 di Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasannudin, Makassar.

[1] Asisten Residen O.M. Goedhart, Nota Over de Rechtsqemeeschappen in de onderafdeelingen Takalar en Jeneponto, Den Hag 13 Maret 1920. P. 48.

[2] Abdul Latif, Galesong Di Masa Lalu, Studi tentang Sejarah Maritim di Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian UNHAS, 1994, Hal. 4.

[3] Frieds Meko, Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Lokal Dalam Pembangunan (Kompas) 12 Februari 1998.

[4] Lontarak adalah segala macam naskah yang biasanya ditulis di atas daun lontarak (Roundtalle) atau semacam menuskrip yang ditulis dengan tangan menggunakan aksara Bugis-Makassar.

[5] Lihat Mattulada, Latoa, Tesis Doktor UI. Jakarta 1975.

[6] Hamid Abdullah, Andi Pangerang Petta Rani Profil Pemimpin Yang Manunggal Dengan Rakyat. Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia 1985, Hal. 74.

[7] Ibid, hal. 76.

[8] Ibid, hal. 77.

[9] Mukhlis Paeni, Landasan Kultural Dalam Pranata Sosial Bugis-Makassar. Ujung Pandang, PT. Sinar Krida, 1986, hal. 19.

[10] Abdullah, opert, hal. 78.

[11] Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar. Jakarta Inti Dayu Press. 1985. hal. 88-89. Juga Tahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujungpandang, Hasanuddin University Press, 1992, hal. 144.

[12] Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan. Yogyakarta, Gajahmada University Press, 1998, hal. 119.

[13] Mukhlis, op. Cit, Hal. 23-25.

[14] Ibid, hal 22.

[15] Schein, E. H, Organizational Culture and Leadership. A Dynamic View Jassey, Bass. San Fransisco, inc Publisher, 1998:p. 23.

buat Istriku tercinta

Istriku , aku memang tidak akan mengambil bunga di tepi jurang itu,
hanya untuk membuktikan sayangku padamu
Aku tidak akan pernah membahayakan diriku hanya untuk menyenangkan hatimu.
Saat ini, aku tahu kamu sangat kuat.
Kamu kuat bangun pagi dan membuatkan sarapan untukku.
Kamu juga sangat sempurna menjaga agar bajuku tidak kusut,
Menjahit bajuku yang robek,
Merapikan rumah agar saya merasa damai.
Bahkan menungguku pulang larut karena lembur,
Mencurahkan segala kasih sayangmu dengan cara yang sangat luar biasa.

Tapi suatu saat nanti,
Saat dimana usia sudah mulai menggerogoti,
Kamu mungkin tidak lagi akan sanggup bangun dari tempat tidur.
Matamu tak lagi kuat untuk menjahit bajuku atau menungguku pulang,
Tanganmu tak lagi mantap memutar kunci untuk membuka pintu,
Kakimu tak lagi bisa menjelajahi rumah ini untuk menjaganya tetap bersih,
Bahkan kamu tidak lagi bisa membuat makanan yang lezat untukku.

Saat semua itu tiba, aku ingin tetap kuat untukmu.
Aku ingin bisa memapahmu ke kamar mandi saat untuk bangunpun kamu tak sanggup.
Aku ingin bisa menjadi matamu dan menceritakan segala hal indah yang bisa kulihat.
Aku ingin menjadi telingamu dan memberitahukan padamu apa yang bisa kudengar.
Aku ingin menjadi tangan dan kakimu, merapikan segala hal agar kamu tetap merasa damai.
Aku ingin kamu punya tempat bersandar saat kamu lelah.

Karena aku terlalu takut bila membayangkan,
Saat dimana kamu buta dan tidak ada aku,
Saat dimana kamu tertatih dan aku tak sanggup membantumu,
Saat dimana kamu sedih dan pundakku tak bisa lagi disandari.
Aku akan menjaga diriku tetap kuat sampai saat itu datang.

Selamat tidur Istriku,
Aku akan berjaga disampingmu sampai pagi datang,
Dan tersenyum padamu saat kamu membuka mata.