A. Latar Belakang
Sejarah perjalanan bangsa ini diwarnai dengan perubahan-perubahan pola kepemimpinan yang mengiringi setiap pergantian kepemimpinan. Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno, politik jadi panglima dalam pembangunan. Setelah periode ini berakhir, ekonomi kemudian berganti menjadi panglima di bawah kepemimpinan Soeharto. Periode-periode selanjutnya juga diikuti dengan pola-pola pembangunan yang merupakan pilihan dari masing-masing pemimpin terpilih.
Kalaupun ada yang tidak berubah, itu adalah pola pembangunan yang tidak pernah memihak pada masyarakat; tidak pernah memperhatikan karakter kebudayaan masyarakat. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam membangun bangsa ini hanya berkiblat pada penyelesaian proyek-proyek pembangunan tanpa memperhatikan akibatnya pada masyarakat. Kerusakan lingkungan seakan menjadi sebuah kelaziman pada setiap proyek yang dijalankan. Kerusakan lingkungan yang paling parah disebabkan oleh proyek-proyek eksplorasi sumber daya alam kita. Kalimantan menjadi contoh paling nyata bagaimana eksplorasi sumber daya alam menjadi “kutukan” bagi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah di maksud. Pulau-pulau lainnya juga tidak lepas dari akibat-akibat ini. Papua telah menjadi tempat eksploitasi bagi Freeport, Sulawesi Selatan bagi INCO, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara bagi Newmont, dan sebagainya.
Realitas yang terjadi di negara ini, masyarakat malah dianggap sebagai pelaku kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi. Budaya masyarakat yang telah menjadi pragmatis menjadi alasan bahwa masyarakat hanya mencari keuntungan bagi mereka sendiri tanpa memperhatikan akibatnya bagi lingkungan. Pengrusakan hutan yang terjadi dimana-mana dan telah menyebabkan banjir tahunan di banyak daerah, pun menjadi “tanggung jawab” masyarakat. Pun pertambangan-pertambangan rakyat menjadi kambing hitam dari kerusakan lingkungan di daerah-daerah pertambangan.
Tapi, benarkah asumsi ini? Apakah pengrusakan lingkungan adalah memang sudah budaya masyarakat Indonesia?
Pertanyaan ini lah yang akan coba kami jawab dengan rangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Bumi Internasional 2010. Semoga rangkaian kegiatan yang kami akan laksanakan dapat menghasilkan jawaban bagi rekonstruksi ekologi di Indonesia.
B. Dasar Pemikiran
Rangkaian kegiatan Hari Bumi Internasional 2010 kami lakukan dengan didasari beberapa aspek. Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran antara lain dari aspek hukum, aspek akademis, maupun aspek sosial-kulturalnya.
1. Aspek Hukum
Dasar hukum yang kami gunakan dalam hal ini adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Seperti yang disebutkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki sertifikan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup). Secara khusus, usaha eksploitasi sumber daya alam disebutkan sebagai usaha yang diwajibkan memiliki sertifikat Amdal (pasal 23). Dokumen Amdal ini kemudian akan dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh pemerintah sesuai daerah kewenangannya. Pemerintah pula yang kemudian menunjuk pakar independen dan sekertariat yang bertugas membantu Komisi Penilai Amdal. Dalam perjalanan usaha yang dimaksud, pemerintah juga diwajibkan untuk melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha (pasal 72). Jelaslah bahwa pemerintah (dalam hal ini Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota) memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup yang sehat.
Sedangkan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimuat pula bahwa setiap izin usaha eksplorasi yang diterbitkan harus memuat dokumen Amdal. Untuk izin usaha operasi produksi, harus juga memuat tentang pengelolaan lingkungan hidup termasuk reklamasi lahan yang telah ditambang. Pengawasan yang dilakukan terhadap usaha pertambangan dilakukan oleh Menteri ESDM, meskipun dapat melimpahkan kewenangan dimaksud kepada pemerintah setempat.
Pengamanan berlapis yang disyaratkan oleh Undang-undang sebagaimana yang terlihat diatas ternyata tidak seindah kenyataan yang terjadi di lapangan. Masyarakat di sekitar pertambangan malah hanya sekedar mendapatkan akibat buruk berupa pencemaran dan banjir serta tanah longsor yang mengintai sewaktu-waktu. Adapun manfaat yang diberikan dengan adanya industry di sekitar mereka tidak mampu menandingi efek yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan yang terjadi secara massif di sekitar mereka.
Tapi masyarakat ini tidak mampu berbuat apa-apa terkait hal tersebut. Kegiatan pertambangan ternyata dilindungi oleh Undang-undang; sah atas nama hukum yang berlaku. Akhirnya masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan akan perlindungan hukum yang mestinya diberikan untuk melindungi hak-hak mereka. Dikarenakan tidak adanya perlindungan hukum ini, masyarakat menjadi lebih pragmatis dan tidak lagi mengindahkan norma sosial yang berlaku.
Yang berlaku kemudian adalah azas manfaat-individualistik. Mereka harus memanfaatkan apapun yang ada di sekitarnya agar dapat bertahan hidup. Pada akhirnya, nilai-nilai budaya yang seharusnya menjadi pegangan seluruh komunitas menjadi tidak lagi dilihat. Nilai-nilai budaya ini telah ditinggalkan, agar hidup mereka dapat terus dilanjutkan.
2. Aspek Filosofis
Lingkungan hidup adalah segala hal yang berada di sekeliling manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan hidup manusia terdiri atas: (1) lingkungan bio-fisik, (2) lingkungan sosial, dan (3) lingkungan budaya (Mattulada, 1994). Yang dimaksud dengan linkungan bio-fisik adalah alam sekitar, yang keberlangsungannya sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Lingkungan sosial atau masyarakat, keberlangsungan ketertiban hidupnya sangat ditentukan oleh keberlangsungan keteraturan interaksi (hubungan) di dalamnya. Sedangkan lingkungan budaya adalah hasil-hasil pemikiran, pengetahuan, teknologi, hukum dan lain-lain, yang keberlangsungannya sangat ditentukan oleh berkelanjutannya kreatifitas (daya cipta) dari pendukungnya.
Selanjutnya Mattulada (1990) menjelaskan bahwa konsep dasar ekologi melibatkan pertalian antara organisme dengan tempat tinggalnya (habitatnya). Pertalian ini memungkinkan jenis-jenis makhluk hidup itu bertahan hidup dari generasi ke generasi pada tempat (habitat) yang sama ataupun berbeda.
Asumsi ekologi yang utama adalah bahwa cara hidup (way of life) organism itu merupakan respons terhadap kondisi hidup yang melanda mereka. Cara hidup ini berlangsung sepanjang waktu pada setiap tempat di bumi. Itu semua adalah hal yang dapat berubah; bila kondisi berubah, maka organisme-organisme menerima (beradaptasi) dengan kondisi yang muncul agar bisa bertahan di tempat tinggalnya, atau mereka akan lenyap apabila tidak mampu beradaptasi.
Terdapat hubungan yang erat dan saling ketergantungan diantara segenap anasir lingkungan hidup itu, itulah kenapa lingkungan hidup dapat dikatakan sebagai ekosistem atau system lingkungan. System lingkungan ini tentunya juga mencakup lingkungan sosial dan lingkungan budaya. Ketiga lingkungan hidup (alam fisik, sosial dan budaya) itu pun saling berhubungan dan terdapat saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa perubahan pada lingkungan alam-fisik pasti berpengaruh pada perubahan lingkungan sosial dan lingkungan budaya. Semakin besar perubahan yang terjadi pada lingkungan alam-fisik, maka lingkungan sosial dan lingkungan budaya pasti akan mengalami perubahan yang semakin besar pula.
3. Aspek Sosial-Kultural
Seperti yang kita ketahui bersama, budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang berkembang dalam kurun waktu yang sangat lama dan mengikat masyarakat dalam komunitas secara primordial. Dengan pembentukan budaya yang memakan waktu lama, maka perubahan budaya juga seharusnya memerlukan waktu yang lama.
Kita mungkin masih ingat, budaya asli negara kita – sebagaimana budaya timur pada umumnya – adalah budaya yang sangat menekankan harmonisasi antara manusia dengan alam semesta. Jejak-jejak budaya ini masih tertinggal dalam benak kita dimana kita diajarkan untuk menghormati alam semesta dan isinya. Manusia-manusia jaman dahulu diajarkan untuk tidak merambah hutan terlalu dalam agar tidak mengganggu para penghuni hutan. Ada juga mekanisme “hutan larangan” yang tidak boleh dirambah sama sekali. Tentu dengan segala bumbu mistis yang menyertai nilai-nilai budaya ini, kita harus mengakui bahwa inilah cara nenek moyang kita untuk meredam keserakahan manusia pada umumnya.
Seiring dengan modernisasi dan globalisasi yang menyebar ke seluruh pelosok dunia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menyingkap tabir-tabir mistis yang sebenarnya diperuntukkan sebagai perlindungan untuk lingkungan hidup.
Perubahan besar kemudian terjadi di masa Orde Baru. Kebijakan untuk mendorong pembangunan fisik sebesar-besarnya kemudian mendorong masyarakat untuk berfikir lebih “realistis”. Program transmigrasi yang merambah hutan-hutan yang semula terjaga dengan baik, dan pemberian Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada para pengusaha menjadi awal dari terkikisnya budaya masyarakat yang semula sangat mengagungkan keberadaan hutan sebagai sesuatu yang sakral. Penggundulan hutan yang terjadi pada saat itu membawa akibat rusaknya ekosistem dan bencana alam seakan menjadi rutinitas tahunan bagi warga masyarakat yang hutannya dibabat atas nama pembangunan.
Hal ini tentu saja mempengaruhi budaya masyarakat. Sebagai pihak yang dipaksa untuk hanya menjadi penonton dan kemudian menerima akibat dari kerusakan lingkungan, mereka dipaksa untuk merubah budaya agar hidup bisa dilanjutkan kembali. Mulai lah masyarakat kita dituntut untuk menjadi lebih permisif terhadap kerusakan lingkungan. Dan pada akhirnya, budaya yang mementingkan harmonisasi dengan alam semesta menjadi hilang sama sekali, diganti dengan budaya menguasai alam semesta untuk kepentingan manusia.
Dari tiga aspek diatas, menjadi jelas untuk kita semua bahwa ada hal yang mendahului ketidakpedulian masyarakat kita kepada kerusakan lingkungan hidup. Budaya masyarakat sekarang yang cenderung merusak lingkungan ternyata adalah hasil konstruksi budaya yang dijejalkan kepada mereka selama puluhan tahun. Budaya asli bangsa Indonesia yang sebenarnya menghormati lingkungan, dirusak oleh kebijakan pemerintah yang melegalisasi kerusakan lingkungan oleh korporasi-korporasi, baik itu melalui HPH atau juga Izin Usaha Pertambangan.
Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama lagi. Kita semua harus bekerja sama untuk membangun kembali karakter bangsa; budaya bangsa Indonesia yang menghormati alam semesta. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan tentu sangat diharapkan agar keseimbangan ekologi tidak rusak oleh bertambah banyaknya pertambangan. Begitupun perusahaan-perusahaan pertambangan maupun perusahaan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup laiinya harus secepatnya me-reklamasi lahan yang telah selesai dikeruk agar hutan-hutan kita dapat segera dipulihkan. Masyarakat sendiri diharapkan untuk menyadari bahwa peran mereka lebih dari sekedar penonton; mereka harus menjadi pelaku perbaikan lingkungan, dan menjaga lingkungan agar tidak dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
C. Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama:
“Peringatan Hari Bumi Internasional 2010”
D. Tema Kegiatan
Adapun tema kegiatan ini adalah
“Rekonstruksi Ekologi Melalui Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya”
E. Maksud dan Tujuan
Kegiatan ini kami laksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
- 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam merespon kerusakan lingkungan
- 2. Menjadi media untuk meminta ketegasan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam.
- 3. Media untuk meminta pemerintah agar berperan aktif dalam menjaga keseimbangan ekologi, termasuk dengan membatasi penerbitan izin usaha pertambangan.
- 4. Memberi gambaran utuh kepada korporasi-korporasi pelaku pertambangan akan akibat dari usaha mereka terhadap keseimbangan ekologi dan nilai-nilai budaya masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab.
- 5. Mendorong kerjasama antara semua pihak (masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha), agar dapat bersama-sama membangun kembali sebuah karakter bangsa; budaya mencintai lingkungan hidup agar setiap komponen bangsa dapat hidup secara sehat tanpa merasa dikorbankan.
F. Bentuk Kegiatan
Kegiatan Peringatan Hari Bumi Internasional 2010 akan dilakukan melalui rangkaian kegiatan sebagai berikut:
- 1. Diskusi Ilmiah, dengan tema “Budaya dan Kerusakan Lingkungan Hidup; Korelasi dan Hubungan Kausalitas”.
Pembicara dalam diskusi ini adalah:
a. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia
b. Nirwan Ahmad Arsuka (Budayawan berbasis lingkungan)
- 2. Aksi Damai, dalam bentuk:
a. sosialisasi dan penyadaran tentang pentingnya membudayakan penyelamatan lingkungan hidup
b. pembagian 224 bibit pohon kepada warga kota Jakarta.
- 3. Diskusi Panel, dengan tema “Rekonstruksi Ekologi Melalui Revitalisasi Nilai-nilai Budaya”.
Narasumber dalam diskusi panel ini adalah:
a. Kementerian Lingkungan Hidup
b. Wakil dari Perusahaan Pertambangan
c. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia
d. Budayawan berbasis Lingkungan Hidup
G. Sasaran Kegiatan
Adapun sasaran dari kegiatan ini adalah:
- a. Masyarakat Umum
- b. Anggota IKAMI SULSEL se-Indonesia
- c. Mahasiswa di Jabodetabek
- d. Pelajar di Jabodetabek
H. Waktu Kegiatan
Rangkaian kegiatan ini akan dilaksanakan dengan jadwal sebagai berikut:
- 1. Diskusi Ilmiah “Budaya dan Kerusakan Lingkungan Hidup; Korelasi dan Hubungan Kausalitas”, pada:
Hari/Tanggal : Selasa, 20 April 2010
Waktu : 13.00 – 18.00 WIB
Tempat : Graha IKAMI SULSEL
Jl. Talang No. 39 Menteng, Jakarta Pusat
- 2. Aksi Damai, pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 22 April 2010
Waktu : 09.00 – 18.00 WIB
Tempat : Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan
Situ Gintung, Ciputat
- 3. Diskusi Panel “Rekonstruksi Ekologi Melalui Revitalisasi Nilai-nilai Budaya”, pada:
Hari/Tanggal : Rabu, 28 April 2010
Waktu : 14.00 – 17.00
Tempat : Aula Madiyah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta