Thursday, November 30, 2006

Syariat Islam; apa kabar?

Teriring salam dan doa semoga Allah senantiasa memberi petunjuk pada kita semua dalam menjalankan tugas dan kewajiban kita sehari-hari. Amin.
Bulukumba adalah sebuah kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan yang telah menasbihkan dirinya untuk menerapkan syariat Islam. Insya Allah, hal ini adalah sebuah hal yang patut kita syukuri.
Beberapa data yang ada di lapangan;
•Sudah ada 4 perda yang berhasil disusun sebagai dasar tegaknya syariat Islam di kabupaten ini yaitu Perda No. 2, 3, 5, dan 6 Tahun 2003 masing-masing tentang pengelolaan ZIS, miras, pakaian muslim, dan baca-tulis Al Qur’an.
•Sampai saat ini, semua perda ini masih dalam tahap sosialisasi.
•Dalam rangka sosialisasi ini, ada desa tiap kecamatan yang dijadikan ‘desa muslim’.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, ada juga beberapa fakta menarik yang perlu kita cermati bersama.
Sosialisasi yang terjadi adalah sebuah proses pasif, bukan hal yang aktif sebagaimana konotasi dari kata ’sosialisasi’ itu sendiri. Kesan yang kita bisa dapat adalah pemerintah hanya menyodorkan perda-perda ini ke masyarakat tanpa pendampingan yang efektif. Lebih jauh lagi, yang terjadi adalah pemaksaan simbol-simbol Syariat Islam tanpa ruh yang seharusnya menjiwai syariat ini.
Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang kepala kelurahan non-desa muslim, terungkap bahwa sampai saat ini beliau belum pernah melihat bentuk perda itu seperti apa. Bahkan, tidak ada koordinasi dan instruksi apapun dalam rangka penerapan ataupun sosialisai perda ini. Kriteria sebuah desa untuk dijadikan desa muslim pun beliau mengaku tidak tahu-menahu.
Seorang tokoh masyarakat di salah satu desa muslim bahkan mengatakan bahwa penunjukan desanya sebagai desa muslim anya omong kosong. Sebagai bukti, beliau mengatakan bahwa masih banyak praktek muamalah yang sangat tidak sesuai dengan syariat itu sendiri, seperti praktek riba, penggunaan dana masyarakat untuk kepentingan pribadi, dan lain-lain.
Jelaslah sudah bahwa yang dinamakan Penegakan Syariat Islam di Bulukumba adalah hanya pemaksaan simbol-simbol syariat tanpa ruh. Pemahaman masyarakat tentang syariat itu sendiri tidak lebih dari aturan, sama halnya dengan undang-undang, KUHP, dan sejenisnya. Pakaian muslim dan muslimah hanya sekedar diwajibkan kepada siswa-siswa sekolah tanpa pemahaman akan maknanya yang sangat dalam. Pun dengan perda-perda yang lain tidak berbeda. Anehnya, pemahaman seperti ini hanya didiamkan oleh pemerintah. Tidak ada penggerakan dari Depag maupun LSM-LSM yang katanya peduli Bulukumba. BKPRMI yang seharusnya menjadi motor penggeraknya pun hanya diam tanpa gerakan. Kegiatan-kegiatan ke-Islam-an yang ada tidak lebih dari rutinitas yang diteruskan dari jaman baheula, tanpa ada nilai tambah Penegakan Syariat Islam.
Akibat dari diamnya kita adalah sangat serius. Pada sebuah titik, Islam akan hanya menjadi sebuah simbol. Nilai-nilai Islam akan terus terdegradasi menjadi hanya seputar rutinitas, surga-neraka, dan bahkan mungkin hanya sekedar pemburu hantu. Yang lebih mengkhawatirkan, saat ini masyarakat Bulukumba sangat yakin bahwa Program Penegakan Syariat ini hanyalah sekedar topeng pemerintah untuk menyembunyikan korupsi dan pembangunan fisik yang nyaris tidak ada. Keyakinan ini akan membawa kita pada pemahaman bahwa Syariat memang tidak layak untuk diperjuangkan karena hanya membuat jalan raya jadi hancur karena dana yang ada hanya digunakan untuk me-rapat-kan Perda.
Pertanyaannya;
Dimana para aktivis HMI yang katanya bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT ?
Dimana para aktivis KAMMI yang katanya merintis jalan menuju generasi rabbani ?
Dimana para aktivis PMII yang katanya begitu kental dengan ahlussunnah wal jamaah ?
Dimana para aktivis HTI yang katanya memperjuangkan khilafah Islamiyah ?
Dimana para mahasiswa yang mengkalim diri mereka dengan oposisi abadi pemerintah ?

Buat Istriku Tercinta


Istriku , aku memang tidak akan mengambil bunga di tepi jurang itu,
hanya untuk membuktikan sayangku padamu
Aku tidak akan pernah membahayakan diri saya hanya untuk menyenangkan hatimu.
Saat ini, saya tahu kamu sangat kuat.
Kamu kuat bangun pagi dan membuatkan sarapan untukku.
Kamu juga sangat sempurna menjaga agar bajuku tidak kusut, menjahit bajuku yang robek, merapikan rumah agar saya merasa damai.
Bahkan menungguku pulang larut karena lembur, mencurahkan segala kasih sayangmu dengan cara yang sangat luar biasa.
Tapi suatu saat nanti, saat dimana usia sudah mulai menggerogoti, kamu mungkin tidak lagi akan sanggup bangun dari tempat tidur.
Matamu tak lagi kuat untuk menjahit bajuku atau menungguku pulang, tanganmu tak lagi mantap memutar kunci untuk membuka pintu, kakimu tak lagi bisa menjelajahi rumah ini untuk menjaganya tetap bersih, bahkan kamu tidak lagi bisa membuat makanan yang lezat untukku.
Saat semua itu tiba, aku ingin tetap kuat untukmu.
Aku ingin bisa memapahmu ke kamar mandi saat untuk bangunpun kamu tak sanggup. Aku ingin bisa menjadi matamu dan menceritakan segala hal indah yang bisa kulihat. Aku ingin menjadi telingamu dan memberitahukan padamu apa yang bisa kudengar. Aku ingin menjadi tangan dan kakimu, merapikan segala hal agar kamu tetap merasa damai.
Aku ingin kamu punya tempat bersandar saat kamu lelah.
Karena aku terlalu takut bila membayangkan, saat dimana kamu buta dan tidak ada aku, saat dimana kamu tertatih dan aku tak sanggup membantumu, saat dimana kamu sedih dan pundakku tak bisa lagi disandari.
Aku akan menjaga diriku tetap kuat sampai saat itu datang.
Selamat tidur Istriku, aku akan berjaga disampingmu sampai pagi datang, dan tersenyum padamu saat kamu membuka mata.

ISLAM KIRI

ISLAM KIRI; Sebuah Wacana

Wacana Islam Kiri / Kiri Islam mulai hadir pada tahun 1981 di Mesir, dibawa oleh Dr. Hasan Hanafi, seorang Doktor muda yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo dengan Jurnal Madha Ya’ni Al-Yasar Al-Islami. Jurnal yang beliau susun kemudian mulai mendunia, tapi terhambat oleh masalah dana. Pada tahun 1988, Kazuo Shimogaki, seorang pemerhati Timur Tengah dari Institute of Middle East Studies International University Jepang membuat buku yang mengkritisi jurnal ini yang kemudian dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia pada tahun 1993. Di Indonesia sendiri ada Eko Prasetyo yang menyusun “Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan” pada tahun 2002.
Apa sih Islam Kiri? Samakah dia dengan Marxisme? Kalau tidak, kenapa mengambil nama “kiri”? Mungkin pertanyaan inilah yang akan muncul pada saat kita mendengarnya. Pada dasarnya, Islam Kiri lahir atas nama keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Dia lahir untuk menentang Kapitalisme dan Globalisasi yang semakin menindas rakyat, baik yang dilakukan oleh pihak asing maupun saudara sebangsa sendiri. Hasan Hanafi dengan tegas berkata; ‘Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin.....membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama-setara “seperti gerigi sisir”, tidak ada perbedaan kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh’. Sedangkan Eko Prasetyo mendefinisikan Kiri dalam agama sebagai ‘...agama yang meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang patut dibela, dilindungi, dan diperjuangkan’. “Kiri” sendiri adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Nama ini menjamin adanya gerakan, perlawanan, revolusi, dan bukan sekedar perbincangan tanpa hasil. Jalaluddin Rakhmat mencatat adanya kesamaan dan perbedaan antara Marxisme dengan Islam Kiri ini. Kesamaannya adalah, pertama, dua-duanya sangat concern pada nasib orang lemah, dan kedua, dua-duanya sama-sama berfikir bahwa kaum mustadh’afin (kaum tertindas) tidak boleh diam, melainkan mereka harus bangkit dan merubah sistem yang tidak berpihak pada mereka. Tetapi juga ada perbedaan jauh diantara keduanya, diantaranya posisi agama sebagai motivator bagi Islam Kiri, posisi Allah yang berada pada tempat tertinggi, dan moralitas yang cenderung diabaikan dalam Marxisme.
Gagasan ini memang punya akar yang kuat dalam Islam. Dalam Al-Qur’an sangat banyak ayat yang mengharuskan adanya keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Allah memerintahkan untuk melawan penindasan dan monopoli ekonomi, membela kaum mustadh’afin, serta berbuat adil sebagai parameter ketaqwaan. Dalam masa awal kenabianpun, Rasulullah didampingi oleh orang-orang dari kalangan lemah ini. Banyak penulis dan ahli sejarah, diantaranya Asghar Ali Engineer dan Karen Amstrong yang menyatakan bahwa penolakan kaum Quraisy kepada Rasulullah bukanlah semata karena ajaran yang dibawa beliau, tapi lebih karena alasan ekonomi dan politik belaka. Mereka kuatir ajaran kesetaraan yang dibawa Nabi akan mengancam monopoli ekonomi yang dimiliki mereka, dan pengakuan mereka atas kenabian beliau akan memberi kekuatan politik kepada Rasulullah SAW. Ada tiga jawaban dari Eko Prasetyo kenapa memihak kaum miskin jadi prioritas; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam karena kemiskinan adalah ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan dimuliakan. Ketiga, yang paling utama adalah mandat Al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna. Maka sangat wajar bila Rasulullah bersabda: ‘Kemiskinan adalah dekat dengan kekufuran’, dan seorang muslim tidak seharusnya miskin. Pertanyaannya adalah; apakah kemiskinan kita disebabkan oleh kemalasan kita sendiri atau sebenarnya kita telah dimiskinkan oleh sistem yang ada? Mari kita jawab dan pecahkan bersama.
Sistem ekonomi dunia saat ini dikuasai oleh para kapitalis, dan cara mereka dalam mengumpulkan modal telah menyebabkan kemiskinan global pula, terutama di negara-negara berkembang. Sistem yang menyandarkan diri pada mekanisme pasar ini telah memberi kesempatan besar kepada para pemilik modal untuk berkreasi dalam mengendalikan produksi dan memaksa konsumen untuk terus mengkonsumsi tanpa mengenal batas teritorial. Bahkan, pemerintahan suatu negara juga dipaksa mengikuti mekanisme ini melalui organisasi-organisasi internasional, baik dengan pinjaman maupun “kesepakatan-kesepakatan” yang sangat mendorong kapitalisasi. Hasilnya bisa kita lihat sekarang ini; pemusatan modal dan produksi pada beberapa pihak, ketergantungan negara yang besar pada investor, serta kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat miskin. Contoh yang mudah adalah penghapusan subsidi bagi rakyat yang berdampak pada kenaikan BBM, kenaikan biaya pendidikan dan kenaikan biaya hidup secara umum. Bahkan, saat ini kenaikan TDL rasanya sudah merupakan sebuah keniscayaan. Belum lagi korupsi membudaya sebagai akibat dari pandangan hidup kapitalistik yang tidak diikuti penegakan supremasi hukum. Sangat ironis rasanya hidup di negara berpenduduk muslim terbesar, pemasok jamaah haji terbesar, tapi juga termasuk negeri terkorup dan termiskin.
Ironi ini telah secara tegas menunjukkan lemahnya peran agama (baca: Islam) dalam membebaskan pemeluknya dari ketertindasan. Bukan hal yang asing bila Islam selalu dikaitkan dengan kepasrahan pada keadaan, kepatuhan kepada pemimpin, atau bahkan sebagai penangkap hantu belaka. Sangat jarang kita temukan Islam dengan wajah pembebas, pemberontak, dan pembela kaum lemah. Yang ada malah Islam me-ninabobo-kan pemeluknya dengan “Allah punya rencana dibalik semua ini”. Islam Kiri meneriakkan dengan lantang bahwa rencana Allah adalah agar kita mau berjuang di jalanNya membela kaum mustadh’afin ini. “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela kaum tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata; Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!” (QS 4:75). Janji Allah yang pasti: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi kaum mustadh’afin di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”, semestinya menjadi jaminan kita untuk memperjuangkan nasib mereka. Maka, mulailah bergerak melawan ketertindasan!
Untuk itu, Kazuo Shimogaki menilai ada tiga pilar yang menopang Islam Kiri dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan Ummat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik yang bersandar pada rasionalisme, pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa, dan pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam yang tidak semata bertumpu pada nash (teks). Hasan Hanafi menganalisis bahwa dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam.
Inilah Islam Kiri, wacana yang hadir dari khazanah intelektual Islam sendiri, dan memerlukan kita untuk mengubahnya menjadi gerakan. HMI sendiri, dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP)-nya mempunyai kecenderungan yang sama. Konsep “Beriman, Berilmu, Beramal” yang ditopang oleh Tauhid, kesatuan aktivitas dan kemerdekaan serta kesetaraan manusia dalam mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi dengan bantuan ilmu pengetahuan adalah inti dari NDP. Organisasi-organisasi Islam yang lainpun akan setuju dengan cita-cita ini. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah dialog untuk merapatkan barisan menuju Izzatul Islam.

Monday, November 27, 2006

MASSUROISME...!!!

[smile....,and have a nice day..!!]

Massuroisme adalah;

- sebuah faham yang hadir sebagai alternatif ditengah kebingungan manusia dengan berbagai isme-isme dunia
- sebuah faham yang menyandarkan sikap hidupnya pada arti penting sebuah senyuman
- sebuah faham yang menganjurkan kita untuk selalu tersenyum dalam menghadapi hidup dengan keniscayaan sebuah kekuatan baru untuk menjalani hari yang indah
- sebuah faham yang mengharuskan kita untuk menjaga senyuman orang-orang disekitar kita agar mereka bisa menjalani hidup yang lebih indah, menjaganya dari semua gangguan yang berasal dari jin dan manusia
- sebuah faham yang mengharuskan kita berperan aktif dalam menjaga senyuman ummat manusia, menjaganya dari gangguan para kapitalis-oportunis dan memberi mereka kesempatan untuk hidup yang lebih baik agar dapat tersenyum lebih lebar