Masalah relasi antara agama dan Negara memang telah ada sejak modernisasi melanda segenap sisi kehidupan manusia. Kompleksitas kehidupan yang meningkat juga menuntut adanya penyelesaian yang menyeluruh atas masalah-masalah yang terjadi, termasuk dalam mengatur kehidupan bernegara.
Menurut Gus Dur (1999), pemikiran negara dalam karya-karya para penulis muslim sejak awal, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, pemikiran negara yang berkembang lalu begitu ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti status perangkat kenegaraan. Negara hanya didekati dari sudut teori kekuasaan belaka, justru bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Sangat sedikit yang mempersoalkan sebuah prinsip utama pemerintahan yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu prinsip permusyawaratan (al-syura). Padahal, keseluruhan bangunan sistem perwakilan rakyat dalam sebuah negara, tergantung sepenuhnya pada batasan-batasan dan mekanisme permusyawaratan itu.
Dua Strategi Islam-Indonesia
Sejak lama para pemimpin Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar ummatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sejak awal, para pemimpin dan aktivis muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Namun, ketika meniti perjuangan politik itu, para pemimpin dan aktivis Islam negeri ternyata memunculkan strategi yang berbeda, bahkan cendrung berlawanan. Secara sederhana, kita dapat melihat dua strategi utama: pertama, strategi “Islamisasi negara demi masyarakat”; dan kedua, strategi “Islamisasi masyarakat dalam negara nasional”.
Tanggapan awal terhadap persoalan ummat yang digambarkan di atas muncul dari para pemimpin yang yakin bahwa kehidupan masyarakat Indonesia merdeka harus mencerminkan Hukum Islam. Romantisme perjuangan di masa awal perjuangan kemerdekaan itu mendorong para pemimpin ummat Islam untuk menerapkan kebijakan yang aktivis dan seringkali konfrontatif. Namun sampai pada era reformasi sekarang ini, usaha ini belum menemui titik terang.
Berbeda dengan yang pertama, pendukung strategi kedua tidak terlalu mementingkan Islamisasi negara. Agenda politiknya juga tidak formal Islam. Fokusnya adalah pemberdayaan masyarakat. Yaitu membuat masyarakat Indonesia, yang secara demografis sebagian besar Islam, mampu mengembang kan diri secara otonom. Perjuangan ummat Islam tidak harus menggunakan simbol-simbol Islam. Strategi kedua ini mengenal dua versi. Yang pertama menekankan “strategi kebudayaan”, dan versi kedua menekankan upaya “membangun kapasitas politik masyarakat”.
Pengaruh Globalisasi dan Krisis Identitas
Globalisasi yang melanda dunia kita dalam beberapa dekade belakangan ini, tak dapat dipungkiri merupakan sebuah faktor yang mempengaruhi pemikiran tentang relasi Islam dan negara. Globalisasi yang melanda penduduk bumi secara menyeluruh telah memacu krisis identitas pada hampir semua orang. Universalisme yang awalnya didengungkan oleh globalisasi telah menjadi uniformasi, yang memaksa semua orang untuk menjadi seragam, baik dalam hal pakaian maupun budaya dan ideologi.
Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia saat ini memaksa setiap orang untuk melihat kembali pada diri sendiri bila tidak ingin hilang. Rentetan informasi dan nilai yang memasuki kehidupan kita telah nyaris membuat kita sama saja dengan orang-orang di negeri lain, terutama di barat sana. Orang-orang kemudian berpaling pada nilai-nilai warisan yang sebenarnya telah melekat tapi nyaris dilupakan. Hal ini kemudian berdampak pada penguatan kultur atau budaya lokal.
Di sisi lain, agama kemudian memberi alternatif. Agama memberi jalan bagi pemeluknya untuk tetap memiliki identitas tetapi juga tidak mengabaikan universalitas global. Pemeluk agama tetap tidak terasing dari globalisasi tetapi juga tidak kehilangan identitas. Hal ini cenderung hanya terjadi pada Islam. Kristen yang telah lebih dulu terkena efek modernitas telah melebur dalam nilai-nilai modern, sedangkan (pemeluk) Islam yang selama ini menjadi objek globalisasi telah terlanjur muak dengan globalisasi sehingga memilih untuk lebih menguatkan identitas ke-Islam-annya. Dari sinilah, benturan antara agama dan bentuk Negara kemudian mendapatkan tempatnya.
Tiga Tahapan Penguatan Identitas
a. Identitas Kemanusiaan
Murtadha Muthahhari dalam Fitrah, mengatakan bahwa ada keniscayaan akan adanya penciptaan yang menyertakan sifat-sifat fitriyah dan juga keharusan untuk menggunakan panca indera serta akal untuk menyingkap rahasia kehidupan manusia beserta tujuannya. Kecenderungan-kecenderungan fitriyah ini bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang sesekali kita sebut dengan motof-motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau kategori. Atau, setidak-tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui sampai saat ini.
Yang pertama adalah kecenderungan untuk mencari kebenaran. Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manusia adalah berpegang pada nilai-nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai-nilai utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dalam hal ini, biasa disebut dengan akhlak yang baik (husn al khulq).
Kecenderungan ketiga adalah keindahan. Manusia tertarik secara total kepada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Kreasi dan penciptaan juga termasuk dalam kecenderungan fitriyah ini. Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Kategori kelima yang diyakini adalah kategori kerinduan dan ibadah. Kerinduan yang dimaksud adalah kerinduan akan Tuhan sebagai asal manusia. Kerinduan ini kemudian disalurkan melalui ibadah. Sepanjang sejarah manusia diwarnai dengan bentuk-bentuk peribadahan kepada sesuatu yang dianggap Tuhan.
Lima kategori inilah yang menyatukan manusia. Manusia setara karena adanya fitrah ini. Seharusnya, hal inilah yang terus-menerus dielaborasi dan digaungkan ke seluruh dunia agar manusia tidak lagi saling menumpahkan darah satu sama lain atas nama identitas yang berbeda.
b. Identitas Ke-Islam-an
Identitas kedua yang harus dikuatkan adalah identitas ke-Islam-an. Namun yang perlu diingat, identitas kedua ini harus dibangun diatas kesadaran akan identitas yang pertama. Artinya, nilai-nilai ke-Islam-an yang dibangun harus mengakui kesetaraan manusia.
Sebagai ummat Islam, kita harus ingat kesejarahan kita di saat Islam mulai menyebar di seluruh dunia. Betapa nilai-nilai modernitas yang menjunjung tinggi keterbukaan, sangat dipegang oleh para pendahulu kita. Dalam sekian dekade, para penerus Rasulullah berhasil menjadikan dirinya penguasa wilayah yang membentang luas dari Spanyol sampai Hindia Timur. Dan mereka melakukannya dengan sikap yang menakjubkan tertibnya, dengan cukup banyak rasa hormat pada yang lain dan tanpa terlampau banyak kekerasan yang tidak beralasan. Betapa pada saat itu, Islam tampil dengan wajah yang penuh toleransi. Dan semua orang harus mengakui bahwa secara tradisional Islam berhasil menerima kehadiran penganut-penganut agama monoteistik lainnya di kawasan-kawasan yang dikontrolnya. Dari awalnya, sejarah Islam menampilkan kemampuan menakjubkan untuk hidup saling berdampingan dengan orang lain.
Ketika Islam berjaya dan seakan memiliki seluruh dunia, orang-orang Islam menafsirkan iman mereka dalam semangat toleransi dan keterbukaan. Misalkan, adanya program penerjemahan besar-besaran dari tradisi Yunani, Persia, dan India yang menghasilkan kemajuan besar dalam sains dan filsafat. Awalnya, peniruan dan penjiplakan dianggap memadai, tapi lantas orang menemukan keberanian untuk memulai titik-titik baru dalam astronomi, agronomi, kimia, pengobatan, dan matematika.
Ini bukan cuma jeda yang sejenak. Dari abad 7 sampai 15, Baghdad, Damaskus, Kairo, Cordoba, dan Tunisia semuanya melahirkan cerdik cendikia dan pemikir-pemikir besar begitu pula seniman-seniman berbakat. Orang arab bukanlah penyumbang satu-satunya bagi gerakan ini. Islam, sejak awalnya, membuka diri dengan bebas bagi orang-orang selain arab. Hal ini kadang dinilai tidak arif, karena orang-orang Arab surut dan dengan cepat kehilangan kuasa dalam imperium yang mereka taklukkan sendiri. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk universalitas yang diproklamirkan Islam (Amin Maalouf, 2004).
Lintasan sejarah emas ini ditorehkan oleh generasi awal Islam dengan menjunjung tinggi keterbukaan, sebuah teladan yang seharusnya kita ikuti.
c. Identitas Ke-Indonesia-an
Dalam halnya dengan identitas kenegaraan dan kebangsaan, pun juga seharusnya dibangun atas kesadaran akan identitas kemanusiaan dan ke-Islam-an (bagi warga yang beragama Islam). Dengan pengakuan akan kesetaraan manusia, juga dengan keterbukaan yang menjadi nilai-nilai Islam, maka kehidupan berbangsa akan jadi lebih indah.
Dengan sendirinya, permasalahan sistem kenegaraan akan hanya menjadi masalah kecil semata dikarenakan hanya akan ditentukan dengan dialog antar-elemen yang terbuka dan fair. Apapun bentuk negara kita, jika nilai-nilai kemanusiaan ditegakkan dan keterbukaan Islam menjadi semangatnya, maka kehidupan negara akan jadi lebih baik, Insya ALLAH.