I.Pengantar
Perikehidupan kita dewasa ini semakin mengarah pada ketidakpastian. Di Indonesia sendiri, begitu banyak krisis yang terjadi dan berkepanjangan dan sampai saat ini belum ditemukan pemecahan paling bijaksana. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kita yang dirasakan tidak tepat meskipun kita juga tidak punya kebijakan alternatif yang lebih aplikatif. Kebijakan-kebijakan pemerintah ini disertai dengan rasionalisasi-rasionalisasi yang sepintas terlihat masuk akal. Itulah sebabnya, ketika sebagian orang menyerukan untuk menolak, mereka hanya terlihat seperti orang bodoh saja. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pun tingkah laku para politisi kita seakan-akan meneguhkan anggapan bahwa bangsa kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang hancur. Hal ini semakin menambah parah apatisme masyarakat atas apa yang terjadi di tingkat elit. Parahnya, para mahasiswa juga termasuk golongan “masyarakat” ini. Hal ini tercermin dari sikap hedon yang semakin mengakar dalam perilaku mahasiswa, juga sikap “asal saya selamat”.
Di tingkat global, permasalahan-permasalahan yang terjadi juga semakin menambah buram pandangan kita atas dunia ini. Persoalan Palestina-Israel yang tak kunjung usai, dominasi sebagian kelompok atas media serta wacana-wacana global sehingga seakan-akan merekalah yang mengatur dunia, serta penguasaan Multi National Corporations (MNC) atas sumber daya negara-negara di dunia ketiga, seakan menegaskan analisis Francis Fukuyama; the end of history.
Atas semua fakta-fakta sosial ini, siapakah yang bertanggung jawab? Dan kalaupun hal-hal ini dianggap sebagai hal yang kurang baik, bagaimana memulai untuk merubahnya?
II.Arti Penting Ideologi
Ideologi, secara etimologis berarti ilmu tentang gagasan (dari kata Idea yang berarti gagasan dan logos yang berarti ilmu). Mula-mula tidak nampak wajah ekspansif dari kata ideologis itu, kecuali ketika diadopsi menjadi istilah-istilah ilmu sosial. Frans Magnis-Suseno mengutarakan pendapat S.L.C. Destutt de Tracy (1756-1836) yang pertama kali memasukkan istilah ideologi ke dalam khasanah ilmu-ilmu sosial bahwa ideologi adalah ilmu tentang idea-idea atau gagasan menyerap secara revolusioner dan progressif untuk mendobrak sistem-sistem yang beku dalam masyarakat.
Jika ditelusuri, sejarah perkembangan ideologi dari Karl Marx (1818-1883), Vilfredo Valeto (1848-1923), hingga gagasan kritik ideologi oleh Jurgen Habermas dan kawan-kawan dalam mazhab Frankfurt maka ideologi dapat disebut mewakili sistem nilai, moralitas, interperetasi dunia, pandangan dunia, pedoman hidup, pandangan hidup dan semacamnya. Ideologi dengan demikian memiliki kekuatan dogmatis untuk mengikat perilaku individu, sehingga terkadang berkonsekuensi fatal dengan munculnya sejumlah anggapan-anggapan sebagai sesuatu yang mengandung target-target terselubung dari kekuasaan atau kepentingan politik semata.
Dalam pendekatan ‘normatif-idealis’, setiap ideologi dari ajaran-ajaran yang memuat nilai-nilai tertentu, pastilah bukan ajaran yang statis melainkan gerak dinamis dan ekspansif. Artinya, memerlukan wadah guna menyalurkan spirit nilai yang dikandung agar teraktualisasi dalam kehidupan sosial. Perjuangan ideologis, dengan demikian adalah sah untuk tetap bergulir sesuai atau bersamaan dengan usia sejarah umat manusia. Tiap ideologi punya harapan agar kebaikan yang ditawarkannya dapat menjadi pilihan masyarakat.
Dengan demikian, ideologi sangat perting artinya dalam membawa arah dan perubahan sebuah masyarakat. Tanpa ideologi, sebuah masyarakat hanya akan menjadi bulan-bulanan dari penguasa, lokal maupun global.
Nah, darimanakah asal sebuah ideologi? Dan bagaimana peran ilmu pengetahuan bagi tumbuh kembangnya sebuah ideologi?
III.HMI dan Ideologisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir dalam dinamika sejarah ummat Islam, bangsa Indonesia, Perguruan Tinggi (baca: mahasiswa), bermain dalam pasang surut sejarah dan ikut membentuknya, maka HMI mempunyai tanggungjawab sejarah (masa depan) yang tidak kecil.
Perjalanan HMI khususnya di masa Orde Baru dapat dilihat dalam dua fase, yaitu: pertama, hubungan mutualistis, didalamnya terdapat partisipasi terbuka dan dinamis yang ditandai dengan sikap akomodatif. Pada tahun 1967-1978, HMI memberi dukungan terhadap pemerintah Orde Baru secara aktif guna melancarkan program yang berorientasi edukatif dan sosial. Kedua, fase kritik-evaluatif dalam posisi-posisi tawar berdimensi intelektual. Dalam masa ini, sikap-sikap loyalitas dan akomodatif telah bergeser ke arah bargaining intelektual yang dimulai dari timbulnya kesadaran untuk memandang Islam sebagai sistem dan ideologi hidup yang harus menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Seiring dengan munculnya kesadaran anggota (tokoh) HMI untuk melakukan kristalisasi ajaran (nilai-nilai) Islam, bangkit suatu sifat kritis atas sekularisme dan dunia modern beserta dampak-dampaknya.
Proses pencerahan di kalangan kader HMI gayung bersambut dengan gerakan Islam di beberapa negara yang berhasil menancapkan rasa percaya diri pada Islam untuk melawan dominasi Barat seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jami’at Al-Islami di Pakistan, bahkan revolusi Islam Iran telah menumbangkan kesombongan AS lewat Syah Reza Pahlevi.
Islam sebagai azas HMI, memerlukan suatu bentuk penafsiran tertentu baik dalam dimensi ritual maupun sistem kehidupan. Pada perspektif tertentu mengenai Islam tersebut, dapat memberi gambaran tentang kerangka pikir gerakan, mulai dari penjelasan filosofis tentang pentingnya model gerakan dan Islam sebagai azas gerakan serta argumen-argumen yang menjelaskan tujuan, sifat-sifat identitasnya hingga argumen-argumen teknis operasionalnya.
Pada buku panduan Kongres XVII HMI diperoleh keterangan bahwa sebelum NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan), HMI pernah mengenal: tafsir azas (1957-1963), Kepribadian HMI (1963-1966), dan Garis-Garis Pokok Perjuangan (1966-1969). “Kitab-kitab” tersebut merupakan karya intelektual kader HMI yang berusaha memaparkan suatu sistem penjelas mengenai pemahaman keislaman dalam berbagai dimensi kehidupan.
HMI, dengan demikian, telah memulai pembangunan paradigma gerakan dengan sebuah pergumulan intelektual yang cukup panjang dalam hal memahami kontekstualisasi ajaran dalam pergerakan Islam. Berarti bahwa HMI memiliki sebuah tradisi intelektual untuk mempersiapkan paradigma gerakan organisasi sesuai dengan kehendak sejarah, zaman, dan masa depannya.
Kongres IX (1969) di Malang kemudian mengesahkan rumusan yang dibuat oleh Nurcholis Madjid, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud sebagai Nilai-nilai Dasar Perjuangan, yang terbukti selama lebih dari satu dasawarsa berhasil membentuk pengkaderan dengan pola yang lebih maju serta menghasilkan kader-kader handal. Dalam Kongres XXV di Makassar kemudian dihasilkan sebuah rumusan NDP baru yang dipandang lebih lengkap dan sesuai dengan nafas zaman sekarang ini.
Wallahu a’lam bisshawab
*) disampaikan sebagai pengantar materi NDP I pada LK I HMI Komisariat Farmasi Airlangga
Monday, May 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment