FITRAH
Dalam mazhab pemikiran metafisika, ada keniscayaan akan adanya penciptaan yang menyertakan sifat-sifat fitriyah dan juga keharusan untuk menggunakan panca indera serta akal untuk menyingkap rahasia kehidupan manusia beserta tujuannya. Penekanan mazhab ini ada pada sifat-sifat bawaan manusia yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu. Namun, pemegang mazhab ini juga harus memegang keyakinan bahwa kecenderungan-kecenderungan ini bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.
Menurut Murtadha Muthahhari, kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang sesekali kita sebut dengan motof-motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau kategori. Atau, setidak-tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui sampai saat ini.
Mencari Kebenaran
Mencari kebenaran adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah “pengetahuan”, atau kategori “penalaran terhadap alam luar”. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya. Para ahli mengatakan bahwa dorongan tersebut terdapat dalam diri anak kecil sejak ia berusia dua setengah atau tiga tahun. Hanya saja orang tua kadang-kadang menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan atau kekanak-kanakan. Padahal sikap semacam ini seharusnya dikembangkan agar fitrah ini dapat mencapai wujud yang sempurna. Keinginan untuk mengetahui sesuatu itu merupakan kesadaran tersembunyi dalam diri manusia.
Moral (akhlak)
Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manusia adalah berpegang pada nilai-nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai-nilai utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dalam hal ini, biasa disebut dengan akhlak yang baik (husn al khulq). Manusia memiliki kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya ada yang memberi manfaat fisik kepadanya, misalnya kesenangan terhadap harta. Kita harus mengakui bahwa manusia memang mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal. Bukan hanya karena hal-hal itu bermanfaat baginya, tetapi karena hal-hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia tergolong pada kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia bertentangan dengan kejujuran. Ketergantungan kepada kejujuran, amanah, ketakwaan, kesucian, dan lain-lain adalah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergantungan jenis ini terbagi atas dua bagian; individual dan sosial. Yang individual misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilisasi, penguasaan diri, dan keberanian yang berarti kekuatan hati dan bukan kekuatan tubuh. Sedangkan yang sosial semisal senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik, dan berkorban untuk orang lain baik dengan jiwa maupun harta.
Estetika
Manusia tertarik secara total kepada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada seorangpun manusia yang kosong dari rasa suka pada keindahan. Seseorang akan berusaha semaksimal mungkin, bahkan hingga soal berpakaian sekalipun, agar penampilannya menjadi indah. Keindahan, pada kenyataannya, memang dibutuhkan dengan sendirinya. Manusia mengenakan pakaian agar terlindung dari panas dan dingin. Kendati demikian, dalam berpakaian manusia pasti memperhatikan keindahan dan estetika (seni keindahan). Manusia, pada dasarnya, memang menyukai keindahan. Karena itu, begitu dia melihat air bergemericik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia merasakan kenikmatan dan kenyamanan.
Kreasi dan Penciptaan
Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana kehidupan, maka kreatifitas pun demikian pula halnya. Kita pasti pernah melihat atau merasakan betapa gembiranya seorang anak ketika dirinya tahu bahwa dia berhasil membuat atau menciptakan sesuatu. Saat itu dia merasakan kepribadiannya. Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun kota, aktif dalam menjalankan organisasi, dan lain-lain.
Kerinduan dan Ibadah
Kategori kelima adalah kategori kerinduan atau kategori ibadah. Konon, al-‘isyq (kerinduan) semula merupakan nama pohon yang menempel pada pohon lain dan “memeluknya” sedemikian rupa seakan-akan dia adalah pemilik pohon itu. Seperti itulah kerinduan. Kerinduan ini kemudian membimbing manusia pada keinginan untuk terus menerus beribadah kepada Tuhannya, dengan segala macam bentuk dan cara yang ia yakini kebenarannya. Bila kita lihat perjalanan peradaban manusia, maka akan terasa bahwa keinginan beribadah tidak pernah hilang dari sebuah peradaban yang paling maju sekalipun dari sebuah masa.
PATANG SULAPA’
Dalam budaya Sulawesi Selatan, kita kenal adanya konsep patang sulapa’ atau empat dimensi manusia. H.A. Aminuddin Salle, menjabarkan empat dimensi ini dalam salah satu buku beliau. Empat dimensi yang dimaksud adalah bahwa manusia harus memiliki empat sikap dasar yaitu kejujuran (kalambussang), keberanian (kabaraniang), kekayaan (kakalumanyangang), kecerdasan (kacaraddekang). Empat dimensi ini bila bergabung dengan sempurna akan membentuk To-Panrita (manusia sempurna/insan kamil). Kita akan melihat hubungan antara lima sifat yang diakui sebaga fitrah manusia itu dan hubungannya dengan patang sulapa’ yang berkembang dan mewarnai budaya Sulawesi Selatan.
Kalambussang (kejujuran)
Dalam penjelasan lebih lanjut, dikatakan bahwa lambusu’ atau jujur mengandung sifat; tutui (berbuat cermat), baji bicara (bicara yang benar/baik), anggau baji (melakukan perbuatan bermanfaat), kuntu injeng (bekerja dengan penuh kesungguhan dan bertanggung jawab). Dikatakan pula bahwa seorang pemimpin yang jujur mencerminkan pribadi pemaaf, artinya jika orang berbuat salah padanya dia lantas memberi maaf. Jika diserahi amanat dia tidak khianat, dan jika bukan bagiannya dia tidak menserakahinya. Dia bekerja untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk dirinya sendiri.
Kabaraniang (keberanian)
Sedangkan kabaraniang atau sifat pemberani pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni tammallakki nipariolo (tidak takut jadi pelopor), tammallakki nipariboko (tak takut berdiri di belakang) dalam artian memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih potensial ataupun dalam rangka pengembangan potensi orang lain, tammallakki allangngere kabara (tak gentar mendengar kabar yang baik maupun buruk, menerima kritik dan saran dari orang lain, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu), serta tammallakki accini bali (tak gentar dalam menghadapi lawan -baik dalam berunding maupun berperang-, tegas dan konsisten).
Kakalumanyangang (kekayaan)
Sifat ini menyiratkan pada sifat yang tamakkurangi ri nawa-nawa (tidak kehabisan imajinasi, senantiasa berinisiatif dan penuh kreatifitas), tamakkurangi ri bali bicara (tidak kekurangan jawaban, kaya akan pengetahuan), masagena ri singkamma gau (mahir dan terampil dalam setiap pekerjaan), tamakkurangi ri sikamma pattujuang (tidak kekurangan usaha karena memiliki modal).
Kacaraddekang (kecerdasan)
Manusia yang mempunyai sifat ini adalah manusia yang cinta pada perbuatan yang memberi manfaat; orangnya suka pada kelakuan yang menimbulkan kemaslahatan. Manusia semacam ini jika menemukan permasalahan selalu berusaha mengatasinya dan jika melaksanakan segala sesuatu selalu berhati-hati.
Dalam hubungannya dengan lima sifat fitrah yang dikemukakan oleh para ahli, sangat jelas bahwasanya unsur-unsur dari patang sulapa’ ini diperlukan untuk mencapai fitrah. Kejujuran akan membawa pada kebenaran dan merupakan akar dari akhlak yang baik. Kejujuran akan melestarikan kecenderungan pada keindahan, kreatifitas dan pengakuan akan pentingnya ibadah kepada Tuhan. Demikian pula dengan Keberanian, Kekayaan, dan Kecerdasan dalam pengertian yang telah dikemukakan diatas. Keseluruhan unsur dari patang sulapa adalah sifat-sifat dasar yang mesti dimiliki oleh manusia agar dapat tetap memelihara dan mengembangkan fitrahnya sebagai manusia.
Dikatakan pula bahwa manusia yang memiliki dan mengamalkan keempat sifat ini secara menyeluruh akan menjadi To Panrita, menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Sudah barang tentu manusia yang utuh adalah manusia yang senantiasa memelihara dan mengembangkan fitrahnya sebagai manusia. Hanya manusia seperti ini yang akan terbebas dari alienasi maupun tipu daya dunia yang seringkali menyesatkan. Maka menjadi sangat jelas kesesuaian antara fitrah manusia (yang telah diakui oleh para ahli) dengan patang sulapa’ yang menjadi sendi kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan.
No comments:
Post a Comment