Tuesday, May 20, 2008

Kontekstualisasi Relasi Agama dan Negara dalam Bingkai Multikulturalisme

Masalah relasi antara agama dan Negara memang telah ada sejak modernisasi melanda segenap sisi kehidupan manusia. Kompleksitas kehidupan yang meningkat juga menuntut adanya penyelesaian yang menyeluruh atas masalah-masalah yang terjadi, termasuk dalam mengatur kehidupan bernegara.

Menurut Gus Dur (1999), pemikiran negara dalam karya-karya para penulis muslim sejak awal, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, pemikiran negara yang berkembang lalu begitu ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti status perangkat kenegaraan. Negara hanya didekati dari sudut teori kekuasaan belaka, justru bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Sangat sedikit yang mempersoalkan sebuah prinsip utama pemerintahan yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu prinsip permusyawaratan (al-syura). Padahal, keseluruhan bangunan sistem perwakilan rakyat dalam sebuah negara, tergantung sepenuhnya pada batasan-batasan dan mekanisme permusyawaratan itu.


Dua Strategi Islam-Indonesia

Sejak lama para pemimpin Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar ummatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sejak awal, para pemimpin dan aktivis muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Namun, ketika meniti perjuangan politik itu, para pemimpin dan aktivis Islam negeri ternyata memunculkan strategi yang berbeda, bahkan cendrung berlawanan. Secara sederhana, kita dapat melihat dua strategi utama: pertama, strategi “Islamisasi negara demi masyarakat”; dan kedua, strategi “Islamisasi masyarakat dalam negara nasional”.

Tanggapan awal terhadap persoalan ummat yang digambarkan di atas muncul dari para pemimpin yang yakin bahwa kehidupan masyarakat Indonesia merdeka harus mencerminkan Hukum Islam. Romantisme perjuangan di masa awal perjuangan kemerdekaan itu mendorong para pemimpin ummat Islam untuk menerapkan kebijakan yang aktivis dan seringkali konfrontatif. Namun sampai pada era reformasi sekarang ini, usaha ini belum menemui titik terang.

Berbeda dengan yang pertama, pendukung strategi kedua tidak terlalu mementingkan Islamisasi negara. Agenda politiknya juga tidak formal Islam. Fokusnya adalah pemberdayaan masyarakat. Yaitu membuat masyarakat Indonesia, yang secara demografis sebagian besar Islam, mampu mengembang kan diri secara otonom. Perjuangan ummat Islam tidak harus menggunakan simbol-simbol Islam. Strategi kedua ini mengenal dua versi. Yang pertama menekankan “strategi kebudayaan”, dan versi kedua menekankan upaya “membangun kapasitas politik masyarakat”.


Pengaruh Globalisasi dan Krisis Identitas

Globalisasi yang melanda dunia kita dalam beberapa dekade belakangan ini, tak dapat dipungkiri merupakan sebuah faktor yang mempengaruhi pemikiran tentang relasi Islam dan negara. Globalisasi yang melanda penduduk bumi secara menyeluruh telah memacu krisis identitas pada hampir semua orang. Universalisme yang awalnya didengungkan oleh globalisasi telah menjadi uniformasi, yang memaksa semua orang untuk menjadi seragam, baik dalam hal pakaian maupun budaya dan ideologi.

Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia saat ini memaksa setiap orang untuk melihat kembali pada diri sendiri bila tidak ingin hilang. Rentetan informasi dan nilai yang memasuki kehidupan kita telah nyaris membuat kita sama saja dengan orang-orang di negeri lain, terutama di barat sana. Orang-orang kemudian berpaling pada nilai-nilai warisan yang sebenarnya telah melekat tapi nyaris dilupakan. Hal ini kemudian berdampak pada penguatan kultur atau budaya lokal.

Di sisi lain, agama kemudian memberi alternatif. Agama memberi jalan bagi pemeluknya untuk tetap memiliki identitas tetapi juga tidak mengabaikan universalitas global. Pemeluk agama tetap tidak terasing dari globalisasi tetapi juga tidak kehilangan identitas. Hal ini cenderung hanya terjadi pada Islam. Kristen yang telah lebih dulu terkena efek modernitas telah melebur dalam nilai-nilai modern, sedangkan (pemeluk) Islam yang selama ini menjadi objek globalisasi telah terlanjur muak dengan globalisasi sehingga memilih untuk lebih menguatkan identitas ke-Islam-annya. Dari sinilah, benturan antara agama dan bentuk Negara kemudian mendapatkan tempatnya.


Tiga Tahapan Penguatan Identitas

a. Identitas Kemanusiaan

Murtadha Muthahhari dalam Fitrah, mengatakan bahwa ada keniscayaan akan adanya penciptaan yang menyertakan sifat-sifat fitriyah dan juga keharusan untuk menggunakan panca indera serta akal untuk menyingkap rahasia kehidupan manusia beserta tujuannya. Kecenderungan-kecenderungan fitriyah ini bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang sesekali kita sebut dengan motof-motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau kategori. Atau, setidak-tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui sampai saat ini.

Yang pertama adalah kecenderungan untuk mencari kebenaran. Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manusia adalah berpegang pada nilai-nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai-nilai utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dalam hal ini, biasa disebut dengan akhlak yang baik (husn al khulq).

Kecenderungan ketiga adalah keindahan. Manusia tertarik secara total kepada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Kreasi dan penciptaan juga termasuk dalam kecenderungan fitriyah ini. Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Kategori kelima yang diyakini adalah kategori kerinduan dan ibadah. Kerinduan yang dimaksud adalah kerinduan akan Tuhan sebagai asal manusia. Kerinduan ini kemudian disalurkan melalui ibadah. Sepanjang sejarah manusia diwarnai dengan bentuk-bentuk peribadahan kepada sesuatu yang dianggap Tuhan.

Lima kategori inilah yang menyatukan manusia. Manusia setara karena adanya fitrah ini. Seharusnya, hal inilah yang terus-menerus dielaborasi dan digaungkan ke seluruh dunia agar manusia tidak lagi saling menumpahkan darah satu sama lain atas nama identitas yang berbeda.

b. Identitas Ke-Islam-an

Identitas kedua yang harus dikuatkan adalah identitas ke-Islam-an. Namun yang perlu diingat, identitas kedua ini harus dibangun diatas kesadaran akan identitas yang pertama. Artinya, nilai-nilai ke-Islam-an yang dibangun harus mengakui kesetaraan manusia.

Sebagai ummat Islam, kita harus ingat kesejarahan kita di saat Islam mulai menyebar di seluruh dunia. Betapa nilai-nilai modernitas yang menjunjung tinggi keterbukaan, sangat dipegang oleh para pendahulu kita. Dalam sekian dekade, para penerus Rasulullah berhasil menjadikan dirinya penguasa wilayah yang membentang luas dari Spanyol sampai Hindia Timur. Dan mereka melakukannya dengan sikap yang menakjubkan tertibnya, dengan cukup banyak rasa hormat pada yang lain dan tanpa terlampau banyak kekerasan yang tidak beralasan. Betapa pada saat itu, Islam tampil dengan wajah yang penuh toleransi. Dan semua orang harus mengakui bahwa secara tradisional Islam berhasil menerima kehadiran penganut-penganut agama monoteistik lainnya di kawasan-kawasan yang dikontrolnya. Dari awalnya, sejarah Islam menampilkan kemampuan menakjubkan untuk hidup saling berdampingan dengan orang lain.

Ketika Islam berjaya dan seakan memiliki seluruh dunia, orang-orang Islam menafsirkan iman mereka dalam semangat toleransi dan keterbukaan. Misalkan, adanya program penerjemahan besar-besaran dari tradisi Yunani, Persia, dan India yang menghasilkan kemajuan besar dalam sains dan filsafat. Awalnya, peniruan dan penjiplakan dianggap memadai, tapi lantas orang menemukan keberanian untuk memulai titik-titik baru dalam astronomi, agronomi, kimia, pengobatan, dan matematika.

Ini bukan cuma jeda yang sejenak. Dari abad 7 sampai 15, Baghdad, Damaskus, Kairo, Cordoba, dan Tunisia semuanya melahirkan cerdik cendikia dan pemikir-pemikir besar begitu pula seniman-seniman berbakat. Orang arab bukanlah penyumbang satu-satunya bagi gerakan ini. Islam, sejak awalnya, membuka diri dengan bebas bagi orang-orang selain arab. Hal ini kadang dinilai tidak arif, karena orang-orang Arab surut dan dengan cepat kehilangan kuasa dalam imperium yang mereka taklukkan sendiri. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk universalitas yang diproklamirkan Islam (Amin Maalouf, 2004).

Lintasan sejarah emas ini ditorehkan oleh generasi awal Islam dengan menjunjung tinggi keterbukaan, sebuah teladan yang seharusnya kita ikuti.


c. Identitas Ke-Indonesia-an

Dalam halnya dengan identitas kenegaraan dan kebangsaan, pun juga seharusnya dibangun atas kesadaran akan identitas kemanusiaan dan ke-Islam-an (bagi warga yang beragama Islam). Dengan pengakuan akan kesetaraan manusia, juga dengan keterbukaan yang menjadi nilai-nilai Islam, maka kehidupan berbangsa akan jadi lebih indah.

Dengan sendirinya, permasalahan sistem kenegaraan akan hanya menjadi masalah kecil semata dikarenakan hanya akan ditentukan dengan dialog antar-elemen yang terbuka dan fair. Apapun bentuk negara kita, jika nilai-nilai kemanusiaan ditegakkan dan keterbukaan Islam menjadi semangatnya, maka kehidupan negara akan jadi lebih baik, Insya ALLAH.

Monday, May 19, 2008

Menuju Ideologisasi Kehidupan*

I.Pengantar
Perikehidupan kita dewasa ini semakin mengarah pada ketidakpastian. Di Indonesia sendiri, begitu banyak krisis yang terjadi dan berkepanjangan dan sampai saat ini belum ditemukan pemecahan paling bijaksana. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kita yang dirasakan tidak tepat meskipun kita juga tidak punya kebijakan alternatif yang lebih aplikatif. Kebijakan-kebijakan pemerintah ini disertai dengan rasionalisasi-rasionalisasi yang sepintas terlihat masuk akal. Itulah sebabnya, ketika sebagian orang menyerukan untuk menolak, mereka hanya terlihat seperti orang bodoh saja. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pun tingkah laku para politisi kita seakan-akan meneguhkan anggapan bahwa bangsa kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang hancur. Hal ini semakin menambah parah apatisme masyarakat atas apa yang terjadi di tingkat elit. Parahnya, para mahasiswa juga termasuk golongan “masyarakat” ini. Hal ini tercermin dari sikap hedon yang semakin mengakar dalam perilaku mahasiswa, juga sikap “asal saya selamat”.
Di tingkat global, permasalahan-permasalahan yang terjadi juga semakin menambah buram pandangan kita atas dunia ini. Persoalan Palestina-Israel yang tak kunjung usai, dominasi sebagian kelompok atas media serta wacana-wacana global sehingga seakan-akan merekalah yang mengatur dunia, serta penguasaan Multi National Corporations (MNC) atas sumber daya negara-negara di dunia ketiga, seakan menegaskan analisis Francis Fukuyama; the end of history.
Atas semua fakta-fakta sosial ini, siapakah yang bertanggung jawab? Dan kalaupun hal-hal ini dianggap sebagai hal yang kurang baik, bagaimana memulai untuk merubahnya?

II.Arti Penting Ideologi
Ideologi, secara etimologis berarti ilmu tentang gagasan (dari kata Idea yang berarti gagasan dan logos yang berarti ilmu). Mula-mula tidak nampak wajah ekspansif dari kata ideologis itu, kecuali ketika diadopsi menjadi istilah-istilah ilmu sosial. Frans Magnis-Suseno mengutarakan pendapat S.L.C. Destutt de Tracy (1756-1836) yang pertama kali memasukkan istilah ideologi ke dalam khasanah ilmu-ilmu sosial bahwa ideologi adalah ilmu tentang idea-idea atau gagasan menyerap secara revolusioner dan progressif untuk mendobrak sistem-sistem yang beku dalam masyarakat.
Jika ditelusuri, sejarah perkembangan ideologi dari Karl Marx (1818-1883), Vilfredo Valeto (1848-1923), hingga gagasan kritik ideologi oleh Jurgen Habermas dan kawan-kawan dalam mazhab Frankfurt maka ideologi dapat disebut mewakili sistem nilai, moralitas, interperetasi dunia, pandangan dunia, pedoman hidup, pandangan hidup dan semacamnya. Ideologi dengan demikian memiliki kekuatan dogmatis untuk mengikat perilaku individu, sehingga terkadang berkonsekuensi fatal dengan munculnya sejumlah anggapan-anggapan sebagai sesuatu yang mengandung target-target terselubung dari kekuasaan atau kepentingan politik semata.
Dalam pendekatan ‘normatif-idealis’, setiap ideologi dari ajaran-ajaran yang memuat nilai-nilai tertentu, pastilah bukan ajaran yang statis melainkan gerak dinamis dan ekspansif. Artinya, memerlukan wadah guna menyalurkan spirit nilai yang dikandung agar teraktualisasi dalam kehidupan sosial. Perjuangan ideologis, dengan demikian adalah sah untuk tetap bergulir sesuai atau bersamaan dengan usia sejarah umat manusia. Tiap ideologi punya harapan agar kebaikan yang ditawarkannya dapat menjadi pilihan masyarakat.

Dengan demikian, ideologi sangat perting artinya dalam membawa arah dan perubahan sebuah masyarakat. Tanpa ideologi, sebuah masyarakat hanya akan menjadi bulan-bulanan dari penguasa, lokal maupun global.
Nah, darimanakah asal sebuah ideologi? Dan bagaimana peran ilmu pengetahuan bagi tumbuh kembangnya sebuah ideologi?

III.HMI dan Ideologisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir dalam dinamika sejarah ummat Islam, bangsa Indonesia, Perguruan Tinggi (baca: mahasiswa), bermain dalam pasang surut sejarah dan ikut membentuknya, maka HMI mempunyai tanggungjawab sejarah (masa depan) yang tidak kecil.
Perjalanan HMI khususnya di masa Orde Baru dapat dilihat dalam dua fase, yaitu: pertama, hubungan mutualistis, didalamnya terdapat partisipasi terbuka dan dinamis yang ditandai dengan sikap akomodatif. Pada tahun 1967-1978, HMI memberi dukungan terhadap pemerintah Orde Baru secara aktif guna melancarkan program yang berorientasi edukatif dan sosial. Kedua, fase kritik-evaluatif dalam posisi-posisi tawar berdimensi intelektual. Dalam masa ini, sikap-sikap loyalitas dan akomodatif telah bergeser ke arah bargaining intelektual yang dimulai dari timbulnya kesadaran untuk memandang Islam sebagai sistem dan ideologi hidup yang harus menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Seiring dengan munculnya kesadaran anggota (tokoh) HMI untuk melakukan kristalisasi ajaran (nilai-nilai) Islam, bangkit suatu sifat kritis atas sekularisme dan dunia modern beserta dampak-dampaknya.
Proses pencerahan di kalangan kader HMI gayung bersambut dengan gerakan Islam di beberapa negara yang berhasil menancapkan rasa percaya diri pada Islam untuk melawan dominasi Barat seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jami’at Al-Islami di Pakistan, bahkan revolusi Islam Iran telah menumbangkan kesombongan AS lewat Syah Reza Pahlevi.
Islam sebagai azas HMI, memerlukan suatu bentuk penafsiran tertentu baik dalam dimensi ritual maupun sistem kehidupan. Pada perspektif tertentu mengenai Islam tersebut, dapat memberi gambaran tentang kerangka pikir gerakan, mulai dari penjelasan filosofis tentang pentingnya model gerakan dan Islam sebagai azas gerakan serta argumen-argumen yang menjelaskan tujuan, sifat-sifat identitasnya hingga argumen-argumen teknis operasionalnya.
Pada buku panduan Kongres XVII HMI diperoleh keterangan bahwa sebelum NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan), HMI pernah mengenal: tafsir azas (1957-1963), Kepribadian HMI (1963-1966), dan Garis-Garis Pokok Perjuangan (1966-1969). “Kitab-kitab” tersebut merupakan karya intelektual kader HMI yang berusaha memaparkan suatu sistem penjelas mengenai pemahaman keislaman dalam berbagai dimensi kehidupan.
HMI, dengan demikian, telah memulai pembangunan paradigma gerakan dengan sebuah pergumulan intelektual yang cukup panjang dalam hal memahami kontekstualisasi ajaran dalam pergerakan Islam. Berarti bahwa HMI memiliki sebuah tradisi intelektual untuk mempersiapkan paradigma gerakan organisasi sesuai dengan kehendak sejarah, zaman, dan masa depannya.
Kongres IX (1969) di Malang kemudian mengesahkan rumusan yang dibuat oleh Nurcholis Madjid, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud sebagai Nilai-nilai Dasar Perjuangan, yang terbukti selama lebih dari satu dasawarsa berhasil membentuk pengkaderan dengan pola yang lebih maju serta menghasilkan kader-kader handal. Dalam Kongres XXV di Makassar kemudian dihasilkan sebuah rumusan NDP baru yang dipandang lebih lengkap dan sesuai dengan nafas zaman sekarang ini.
Wallahu a’lam bisshawab

*) disampaikan sebagai pengantar materi NDP I pada LK I HMI Komisariat Farmasi Airlangga