Sunday, January 28, 2007
MILAN 1 - 0 PARMA
Ucapan terima kasih sudah selayaknya disematkan untuk setiap pemain. Terkhusus untuk Pippo Inzaghi yang pada pertandingan ini membuktikan dirinya sebagai penyerang yang patut ditakuti oleh siapapun lawan Milan, sekaligus sebagai pemain tak tergantikan di lapangan dan di hati para Milanista. Satu gol yang lahir darinya yang berawal dari tendangan bebas Pirlo telah cukup membuktikannya. Massimo Oddo yang baru bergabung kembali dengan Milan juga memberi sumbangan yang tak kalah besar dengan kemampuan defence yang bagus serta beberapa crossing brilian yang menjadi titik serangan balik Milan.
Untuk lawan-lawan Milan berikutnya, terutama Roma (Coppa Italia) dan Celtic (Liga Champion), harus sangat berhati-hati. Begitupun dengan para kontestan Serie A yang ingin merebut tempat di 4 besar sebagai syarat untuk ikut dalam Liga Champion musim depan.
FORZA MILAN..!!!
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) versi Andito
NDP adalah konsepsi dari Cak Nur tentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Nilai-nilai Islam yang absolute dan universal digabungkan dengan nilai-nilai Indonesia yang plural sehingga terlahirlah NDP. Namun, ada beberapa hal yang membuat NDP menjadi begitu sakral dan tidak mudah dipahami oleh sebagian besar kita. Andito, seorang kader HMI dari Bandung mencoba metodologi lain dalam memahami NDP. Beliau mengkritik isi NDP yang cenderung developmentalis dan membalikkan metodologi NDP versi Cak Nur yang sosiologis-teologis-filosofis menjadi filosofis-teologis-sosiologis sehingga lebih mudah dipahami dan lebih membumi. Tulisan berikut akan mencoba menjabarkan metodologi NDP versi Andito. Penulis sangat mengharapkan tanggapan, terutama perbedaan metodologi baru ini dengan metodologi penulisan yang disusun oleh Almarhum Cak Nur.
Filosofis
Ideology dalam pengertian diatas harus memuat konsep, sikap, dan aksi agar bisa berhadapan dengan realitas. Konsep itu sendiri adalah pengetahuan yang menyebabkan tersingkapnya objek oleh subjek dengan seyakin-yakinnya tanpa keragu-raguan. Yang menjadi objek dalam pengertian konsep adalah realitas atau eksistensi, atau kita bisa sebut wujud. Pemahaman atas realitas akan melahirkan sikap, sehingga pada akhirnya akan menentukan aksi yang kita ambil sehubungan dengan realitas yang ada. Aksi, setelah terakumulasi, akan melahirkan peradaban.
Realitas sebenarnya menimbulkan problem yang akhirnya melahirkan pengetahuan yang menjawab problem tersebut. Pengetahuan-pengetahuan yang telah lahir ini kemudian terakumulasi sehingga melahirkan –isme (contoh: massuroisme). Karena realitas yang bisa dipecahkan adalah realitas yang inderawi (dan harus bisa dijadikan indrawi), maka sebuah pengetahuan juga harus inderawi. Hal-hal yang tidak indrawi yang selama ini kita anggap pengetahuan sebenarnya adalah konsep pengetahuan.
Realitas itu sendiri ada dua macam; realitas materi dan relitas non-materi. Realitas materi terbagi lagi menjadi dua; empiris (contoh: baju, tubuh, spidol, dll) dan non-empiris (contoh: mimpi). Realitas materi ini menempati ruang dan waktu sehingga sifatnya terbatas sehingga tidak mungkin sempurna. Yang sempurna hanyalah realitas non-materi karena tidak menempati ruang dan waktu. Karena realitas yang dipecahkan oleh pengetahuan hanyalah realitas materi maka pengetahuan pasti terbatas. Produk yang menjadi akumulasi pengetahuan (-isme) juga dengan sendirinya pasti terbatas.
Salah satu ciri penting dari sebuah –isme adalah penggunaan simbol. Orang-orang punk akan menyimbolkan dirinya dengan rambut mohawk dan atribut logam sebagai lambang perlawanan. Para pendukung sosialisme cenderung mengangkat perlawanan petani dan rakyat miskin kota kepada penguasa sebagai simbol eksistensi mereka. Kapitalisme sendiri lebih pandai dalam menyamarkan simbolnya, seperti budaya pop-lifestyle yang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.
Pemberian simbol pada sesuatu adalah berarti memberi nilai lebih. Artinya, memberi simbol ”mohawk dan piercing” pada orang-orang yang anti-kemapanan adalah menjustifikasi bahwa pemakai gaya mohawk dan piercing adalah pasti anti-kemapanan, padahal belum berarti seperti itu. Melihat orang yang mempaerjuangkan orang tertindas sebagai pengusung ideologi sosialisme kadang jadi kebiasaan. Begitu juga tanpa sadar kita telah menjustifikasi orang-orang dengan jilbab besar dan baju koko sebagai ”orang yang sebenarnya Islam” sebenarnya telah menyimbolkan Islam dengan jilbab besar dan baju koko tersebut.
Memberi nilai lebih pada sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki nilai itu adalah sesuatu yang melawan kehendak Allah, karena itu adalah pekerjaan Allah dan bukan samasekali pekerjaan kita. Dan melakukan pekerjaan Allah adalah sama saja dengan mengangkat diri sebagai Tuhan !!! bukankah itu adalah kedzaliman yang tak termaafkan? Maka dari bab Dasar-dasar Kepercayaan, keharusan pertama adalah menegasikan semua kepercayaan dan –isme selain kebenaran. Pertanyaan besarnya adalah; apakah kita sudah dapat dikatakan sebagai orang yang selamat ?
Teologis
Tuhan itu sendiri, karena sifatnya yang non-materi, selain menjadikanNya bebas dari ketidak-sempurnaan, juga mengakibatkan manusia menjadi susah untuk merasakan dan mengikuti keberadaanNya. Wahyu kemudian diberikan kepada manusia agar manusia bisa merasakan adanya Tuhan dan tidak menjadi menyimpang dari jalan yang diinginkan Tuhan.
Wahyu ini diberikan kepada manusia melalui manusia pula yang disebut Rasul. Syarat dari Rasul itu sendiri adalah sempurna dalam hal intelektual (yang menjamin mereka terbebas dari sifat lupa) dan spiritual (yang menjamin mereka terbebas dari maksiat). Kedua kesempurnaan ini bukanlah skill yang dapat dilatih, melainkan sesuatu yang given dari Tuhan. Dan oleh karena kedua kesempurnaan ini pula, maka ajaran yang dibawa oleh seorang Rasul juga sempurna secara intelektual dan spiritual. Artinya, ajaran tauhid itu adalah rasional dan bukan historis.
Rasulullah Muhammad SAW juga membawa sebuah sistem yang disebut Islam. Dalam Islam, ada sistem hukum yang terangkum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an ini adalah kitab yang berisi kumpulan wahyu dari Allah. Tetapi, benarkah bahwa Al-Qur’an itu tak lebih dari hanya kitab saja? Logikanya, karena Rasul diutus untuk ummat manusia yang notabene adalah makhluk sosial maka Al-Qur’an itu seharusnya bersifat sosiologis. Artinya, Al-Qur’an itu berisi kumpulan sejarah, hukum, norma, dan sistem. Tapi bila difahami seperti itu, maka segala hal yang ada dalam Al-Qur’an tidak lebih dari teks sosiologis. Maka tidaklah salah bila kita akan melihat Nabi Yunus sebagai nabi yang pengecut karena tidak mau berdakwah kepada ummatnya, kita akan melihat Nabi Khidir sebagai seorang pembunuh yang sok karena menghukum atas apa yang belum terjadi. Banyak lagi kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang bila dipahami tekstual maka akan sangat mengganggu. Jadi sebenarnya Al-Qur’an bukan sekedar teks belaka.
Al-Qur’an memuat wahyu yang notabene berdimensi spiritual, maka sudah seharusnya Al-Qur’an itu juga berdimensi spiritual. Dengan demikian seluruh teks di dalamnya tidak bisa dimaknai secara harfiah saja, karena ada makna transenden dalam kandungannya. Maka dengan sendirinya, seluruh hukum, norma, dan sistem dalam Al-Qur’an adalah juga berdimensi spiritual dan tidak dapat hanya dimaknai harfiah saja.
Diatas telah dikemukakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an (sejarah, hukum, norma, maupun sistem) adalah memiliki makna transeden. Artinya, setiap kata dalam Al-Qur’an tidak dapat difahami hanya secara tekstual saja, tapi ada makna lain yang jauh lebih dalam daripada teks itu sendiri. Mari kita ambil contoh dari sistem ibadah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Seorang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat. Syarat sahnya sholat antara lain adalah pelakunya Islam, baligh, berakal, dan suci dari hadas dan najis.
Islamnya seseorang adalah bukan dengan serta-merta, tapi melalui proses pendidikan yang panjang yang dimulai dari rumah sampai pada sekolah. Maka konsekwensi dari adanya pendidikan Islam agar semua ummat Islam dapat sholat dengan benar adalah pendidikan gratis untuk semua orang! Kemudian, agar pertumbuhan seseorang dapat sampai pada tahap baligh dan berakal, maka kebutuhan nutrisi dan gizinya harus terpenuhi dengan baik. Konsekwensi dari adanya keperluan nutrisi dan gizi untuk dapat melaksanakan sholat dengan baik adalah kepedulian pada petani dan nelayan serta pada orang-orang tertindas lainnya. Begitupun halnya dengan adanya syarat suci yang secara tidak langsung mensyaratkan adanya air untuk semua orang memberi konsekwensi perlawanan pada adanya hegemoni orang-orang kaya atas hal yang satu ini. Karena air dan tanah adalah untuk Rakyat, untuk semua rakyat !!!
Karenanya, Hukum Islam itu adalah wilayah publik, dan tidak ada satu halpun dalam Islam yang memisahkan pemeluknya dari konsekwensi kewajiban sosial. Dari contoh diatas dapat pula kita tarik kesimpulan bahwa penerapan hukum Islam secara kaaffah hanya dapat dilaksanakan bila keadilan sosial dan keadilan ekonomi telah ditegakkan. Dan oleh karena penegakan hukum Islam itu wajib bagi kita semua, maka penegakan keadilan itu juga wajib atas kita semua!
Sosiologis
Mari kita kembali kepada konsep kebenaran yang telah kita bahas pada awal diatas. Telah kita ketahui bahwa konsep kebenaran manusia disandarkan pada konsep-konsep pengetahuan yang tidak sempurna karena berdasar pada realitas materi. Agar konsep-konsep itu dapat selalu berkembang, maka konsepsi kebenaran manusia selalu di-crosscheck-kan dengan manusia lainnya melalui dialog.
Dalam hal ini, manusia memerlukan unit yang disebut masyarakat untuk mengatur hak dan kewajiban agar proses dialog ini dapat berjalan dengan baik. Maka, bermasyarakat merupakan hakekat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau bermasyarakat tidaklah pantas disebut manusia. Dalam masyarakat itupun ada satuan yang lebih kecil lagi yang disebut organisasi. Organisasi ini merupakan bentuk paling ideal dari masyarakat karena pertukaran ide-ide didalamnya terjadi secara intens sehingga peluang untuk menghasilkan kebenaran yang lebih baik dari sebelumnya jadi lebih besar. Maka, berorganisasi pun merupakan hakikat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau berorganisasi tidaklah pantas disebut manusia.
Telah kita ketahui bersama bahwa ada dua macam organisasi, yaitu organisasi massa dan organisasi kader. Organisasi massa terdiri atas kelompok massa dan kelompok elit. Bentuk gerakan dari organisasi massa adalah adanya mobilisasi. Untuk itu, mereka biasanya menggunakan figur dan kental dengan penggunaan mitos. Singkatnya, hubungan antara elit dan massa adalah melalui manipulasi kesadaran dengan menggunakan figur dan mitos tertentu yang dijaga.
Bentuk kedua dari organisasi ini adalah organisasi kader, yang terdiri dari kelompok yang meng-kader dan yang di-kader. Kegiatan utama dari organisasi ini adalah pengkaderan. Tujuannya adalah pembentukan sistem yang baik. Oleh karenanya, cara yang dilakukan lebih menekankan rasionalitas yang berdasar pada kritisisme. Pada tahap selanjutnya, kritisisme akan melahirkan doktrin yang akan ditaati oleh setiap kader. Organisasi jenis ini biasanya redapat di kalangan mahasiswa. Tapi sekarang ini ada banyak organisasi yang mengklaim diri sebagai organisasi kader meskipun sebenarnya apa yang telah dilakukan belumlah cukup untuk mencirikan organisasi kader. Sebuah organisasi kader haruslah melakukan transformasi kebenaran, dimana kebenaran itu haruslah absolut dan plural. Dalam hal ini, hanya organisasi yang berdasar Islam (yang merupakan kebenaran absolut) dan menekankan pluralitas-lah yang pantas disebut organisasi kader. Maka beruntunglah kita yang berada di HMI.
Penutup
Yang dinamakan tauhid sebenarnya adalah terdiri dari ritual dan sosial yang harus dijalankan bersama-sama. Karena ritual tanpa sosial adalah kebohongan, dan sosial tanpa ritual adalah kekosongan. Untuk menegakkan kalimat Tauhid ini, maka harus ada intelektual organik, yaitu orang-orang yang punya konsep dan ideologi serta sekaligus membasis dengan orang-orang kecil. Manusia harus selalu bergerak, karena pada saat kita berhenti, maka kita sudah membunuh diri sendiri. Dan orang yang berhenti begerak, maka dia telah ”mengambil” takdir Tuhan dan menjadi sekutuNya.
Billahit taufiq wal hidayah
Note:
Beberapa perbedaan dengan NDP Metodologi Cak Nur:
NDP Cak Nur terlebih dahulu mengemukakan fakta sosiologis (tradisi) kemudian menggiring pada konsep teologis (syahadat dan wahyu) dan kemudian filosofis (tauhid). Metodologi ini cenderung membawa kita pada dekonstruksi keyakinan peserta baru kemudian menuju konstruksi lagi. Seringkali hal ini terbentur pada terbatasnya waktu untuk berdebat. Bila metodologi diatas dibalik, maka dekonstruksi keyakinan tidak akan terlalu dalam, bahkan hanya dibutuhkan penguatan saja.
NDP Cak Nur sangat mengedepankan developmentalisme (berperan dalam pembangunan). Hal ini tentu saja bertentangan dengan sikap ”melawan” pemerintah. Juga, menyebabkan adanya orientasi pada struktur yang notabene menentukan arah pembangunan secara aktif.
NDP Cak Nur juga cenderung mengarah pada individualisme. Pembahasan pada bab-bab yang ada menekankan pada peran individu dalam masyarakat, bukan peranan kelompok. Padahal, kita sama-sama tahu pentingnya intelektual organik dalam pengembangan masyarakat.
Thursday, January 18, 2007
Do'aku
Ya Allah ...!
Engkaulah penguasa segala penguasa makhluk
Engkaulah pengasih semua pengasih makhluk
Engkaulah penyayang setiap penyayang makhluk
Maka saksikanlah...!
Aku menyatakan Engkau sebagai penguasa-ku
Aku menyatakan Engkau sebagai pengasih-ku
Aku menyatakan Engkau sebagai penyayang-ku
Kumohon pula....
Sediakan untukku para pembimbing
Sediakan untukku orang-orang yang mengasihiku
Sediakan untukku orang-orang yang menyayangiku
dan seorang wanita yang dapat membimbing, mengasihi, dan menyayangiku
Amin...!!!
Friday, January 12, 2007
Sang Wanita Ideal Ku
Terus terang, persepsi saya tentang wanita banyak terpengaruh oleh model wanita yang ada di rumah saya. Ibu saya, seperti kebanyakan wanita Makassar, adalah seorang yang keras pada kami; anak-anaknya. Tapi di saat yang sama, beliau juga sangat menyayangi kami. Tak banyak ungkapan sayang memang, tapi beliau akan melakukan apa saja demi kebahagiaan kami. Mengenai kesetaraan gender, beliau adalah pendukung penuh kesetaraan ini. Beliau sangat mendukung anak-anak perempuannya untuk sekolah dan menggapai kehidupan yang layak untuk mereka sendiri. Kakak perempuan saya adalah aktivis Ahlussunnah kampus. Beliau banyak mempengaruhi pemikiran saya tentang akidah dan akhlak yang baik, juga sikap seorang wanita seharusnya dalam bergaul di masyarakat. Termasuk juga bagaimana seharusnya seorang laki-laki memperlakukan wanita. Adik perempuan saya lain lagi. Dia aktivis HTI (Hizbut Tahir Indonesia), tapi pemikirannya banyak dipengaruhi olehku yang aktif di HMI yang tentu saja lebih moderat. Tapi mengenai pergaulan antara laki-laki dan perempuan, dia termasuk menjunjung tinggi kaidah yang umum berlaku; tanpa kontak mata, apalagi sentuhan. Sampai masalah menjaga hati dia juga pegang teguh. Untuk hal ini, sayalah yang banyak diingatkannya. Adik saya yang satu lagi masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah, dan saya tidak terlalu dekat dengannya. Maklum, saat dia lahir, saya sudah "merantau" untuk sekolah di kota kabupaten dan terus sampai sekarang keluar pulau. Semoga nanti saya masih punya waktu untuk menjadi kakak laki-laki yang baik baginya.
Saya keluar dari rumah dengan persepsi bahwa seorang wanita seharusnya dapat menjaga diri. Dia dapat manjaga diri dari pandangan, dengan mengenakan busana tertutup serta menjaga pandangannya sendiri dari melihat langsung lawan jenisnya. Seorang wanita juga harus tak tersentuh, yang artinya dia juga tidak boleh menyentuh lawan jenisnya. Dia juga dapat menjaga hatinya agar tak terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan dua hal diatas. Sebaliknya, saya juga bertekad untuk tidak menyentuh, menjaga hati dan pandangan dari wanita. Inilah persepsi awal saya tentang bagaimana wanita dan pria seharusnya berhubungan. Bahkan, dalam berpacaranpun, saya tetap menjaga hal ini; 14 dari 16 mantan pacar saya tak tersentuh apapun. Dan bila hati saya mulai tak bisa menjaga mereka, saya akan memutuskan hubungan itu.
Pada awal-awal masa kuliah, persepsi ini tidak berubah. Meski saat itu saya mulai bereksperimen; agak melanggar aturan saya sendiri. Saya mulai menyentuh pacar saya saat itu setelah lebih dari 3 bulan. Tapi saya sendiri tidak tahan menanggung rasa bersalahnya dan akhirnya memutuskan untuk mengakhirinya. Sekali lagi, saya menyakiti wanita, dan beberapa kali lagi sesudahnya.
Perjalanan selanjutnya mengajariku lebih banyak tentang mereka. Aku mulai banyak belajar, baik dari interaksiku sendiri maupun dari hubungan teman-temanku dengan pacar-pacar mereka. Kalau selama ini saya hanya bertemu dengan perempuan-perempuan yang modelnya nyaris sama (lebih menjaga jarak dari lawan jenis), maka kemudian saya bertemu model yang lebih bervariasi. Saya lebih membuka diri untuk bergaul dengan model perempuan yang lebih "terbuka". Yah, Surabaya memang telah membuka kesempatan itu jadi lebih besar. Saya jadi tahu kalau sebagian dari mereka memang ingin "dilihat" ataupun "disentuh". Alasan mereka sih kebanyakan untuk aktualisasi diri, menarik perhatian agar mereka tidak hanya menjadi pelengkap dalam dunia yang seakan menjadi milik para pria. Mereka juga butuh disayangi, dan "sentuhan" adalah salah satu aplikasi praksis dari rasa sayang yang mereka butuhkan. Apakah itu memang adalah alasan sebenarnya ataukah hanya apology semata, hanya dia dan Allah yang tahu.
Saya bertemu dengan beberapa lagi dari mereka, dan belajar lebih banyak lagi dari mereka; Saya belajar cara berkomunikasi dengan mereka. Saya belajar cara mengungkapkan perasaan dan menerima ungkapan perasaan dari mereka. Saya belajar mencintai dan menerima sakit akibat mencintai itu. Saya belajar untuk menerima kekurangan sebagaimana mereka juga menerima kekurangan saya. Tentu saja, hal-hal seperti menjaga pandangan dan menyentuh (dalam pengertian sebenarnya-tanpa nafsu) sudah harus saya kesampingkan agar dapat membuka komunikasi lebih luas. Tapi bagaimanapun, batas-batas kewajaran atas memandang dan menyentuh tak mampu saya lewati. Saya juga belajar dari teman-teman laki-laki saya mengenai model wanita yang mereka inginkan dan bagaimana mereka berhubungan dengan para wanita. Dari proses ini, saya dapat seikit banyak mengetahui model wanita yang saya inginkan, dan juga sebagian besar teman-teman saya inginkan. Tentu saja parameter ini tidak berlaku untuk semua laki-laki, mengingat laki-laki pun ada bermacam-macam model.
Saat ini, ada beberapa hal yang saya tahu. Saya suka perempuan yang bisa menempatkan diri sendiri; perempuan yang tahu posisinya dan dapat menempatkan diri di tempat yang semestinya. Dia bisa menjaga kehormatannya, menjaga diri dari pandangan dan sentuhan sembarang laki-laki. Dia bisa membuat para laki-laki tak berani kurang ajar padanya. Dan kalau dia memang akan jadi milikku, dia juga membiarkanku menjaga kehormatannya serta juga ikut menjaga kehormatanku. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang dapat melukai harga diriku, apalagi di depan teman-temanku. Dia dapat mengarahkan jalanku tanpa menyeretku sehingga rasa "kelaki-lakian"ku tetap terjaga. Membiarkanku menjaganya sehingga aku merasa "ada", tapi tanpa bergantung padaku. Dia juga seharusnya cerdas dan berwawasan agar bersamanya ga melulu bengong dan mengulang bahasan-bahasan yang sama. Yang jelas, good-looking lah; manis. Oh iya, dia juga harus baek, bisa menerimaku dan lingkunganku, serta penyayang ke setiap makhluk.
Model diatas tentu saja bukan model ideal wanita umumnya, hanya wanita untukku saja. Tapi, kaya'nya semua laki-laki memiliki harapan yang hampir sama tentang wanita yang ideal. Dan sebejat-bejatnya seorang laki-laki, dia pasti menginginkan wanita yang baik untuk jadi pendampingnya. Jadi, buat para wanita; tolong jaga harkat dan martabat kalian agar punya nilai didepan kami dan didepan masyarakat umum. Juga, di depan Tuhan Sang Pencipta.
Monday, January 8, 2007
HMI dan Strukturalisme Transendental
Seperti yang telah kita pahami pada artikel sebelumnya, HMI adalah layak disebut struktur (dengan segala atribut dan kelengkapannya), dan dapat dibedah dengan strukturalisme transendental. Dalam bagian ini kita akan lebih dahulu mencoba membahas lebih lanjut tentang ciri-ciri strukturalisme dalam HMI.
Inter-connectedness. Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu menyepakati bahwa HMI adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. NDP sebagai dasar HMI sangat jelas menekankan hal ini. Seorang manusia sejati adalah manusia yang memahami tauhid (kesatuan). Dia akan memandang hidup sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berkaitan satu sama lain. Karena dia memandang hidup sebagai satu kesatuan maka keikhlasan adalah jiwa dari setiap perbuatannya sehingga kemerdekaan menjadi jalannya dalam menjalani hidup. Meski demikian, dia juga tunduk pada kebenaran hakiki (Allah SWT) sehingga memeluk Islam dengan sempurna. Penghambaan mutlak kepada Allah menjadikannya adil dan baik kepada sesama. Sifat adil ini pula yang membuatnya tidak rela melihat adanya penindasan sehingga akan senantiasa menegakkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi sebagai amal soleh dengan ilmu sebagai perangkatnya.
Innate structuring capacity. Seperti yang telah dijelaskan dalam NDP, tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Dasar dari semua adalah tauhid. Sesudah itu ada deep structure. Bila dalam Islam yaitu akidah, ibadah, akhlak, syariah, dan mu’amalah, maka dalam HMI ada pengkaderan formal, non-formal, dan informal. Di permukaan, sebagai hasil dari proses pengkaderan ada lima kualitas insan cita. Pengkaderan formal sifatnya immutable (tidak berubah), sedangkan pengkaderan nonformal dan informal bisa saja berubah sesuai kebutuhan kader dan organisasi.
Binary opposition. Karena HMI bersumber dari ajaran Islam, maka juga terdapat dua gejala yang saling bertentangan, yaitu pasangan (azwaaj) dan musuh (‘aduwwun) yang masing-masing menghasilkan ekuilibrium dan konflik. Dalam strukturalisme, kiranya pertentangan yang berupa pasanganlah yang dimaksud. Pertentangan antara “kepentingan” Tuhan dengan kepentingan manusia, badan dengan ruh, individu dengan masyarakat, dunia dengan akhirat, dan sebagainya adalah pertentangan yang menghasilkan ekuilibrium. Sementara itu, pertentangan antara tauhid dengan musyrik, ma’ruf versus munkar, dan sebagainya adalah pertentangan yang menghasilkan konflik sehingga harus dipilih salah satu.
Dengan situasi HMI sekarang, diperlukan sejumlah agenda baru supaya HMI dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, yaitu supaya pengkaderan non-formal dan informalnya tidak ketinggalan jaman. Diperlukan perluasan-perluasan supaya pengkaderan yang ada menjadi lebih efektif. Perluasan itu berupa enam macam kesadaran, yaitu (1) kesadaran tentang perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4) kesadaran tentang fakta social, (5) kesadaran tentang masyarakat abstrak, (6) kesadaran tentang perlunya objektifikasi.
Kesadaran tentang Perubahan.
Kadang-kadang kita masih terhegemoni dengan romantisme bahwasanya HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di negeri ini. Kita juga masih menganggap bahwa HMI adalah jalan yang lempang untuk memperbaiki hidup pribadi dimasa depan mengingat jaringan alumni yang kita punyai. Padahal sebenarnya peran kita sebagai organisasi mahasiswa yang paling didengar pemerintah dan masyarakat sudah mulai tergeser. Entah itu oleh organisasi mahasiswa lain, ataupun oleh anggapan masyarakat yang menganggap organisasi mahasiswa tidak lain adalah pembawa aspirasi parpol.
Kondisi akademis yang akhir-akhir ini mendapat perhatian lebih dari sebagian besar kampus seharusnya juga mendapat perhatian lebih dan dicarikan solusi agar kader-kader HMI tetap dapat berhasil di bidang akademis tanpa meninggalkan organisasinya. Sebagai tempat belajar, HMI juga sudah mulai terpinggirkan dengan gencarnya perkembangan organisasi intra dan ekstrakampus yang lain. Kita yang sekarang sudah terlalu terlekat dengan cap politis. Meskipun hal ini tidaklah sepenuhnya benar, setidaknya menurut kita, tapi kenyataan ini seharusnya menegaskan perlunya kesadaran tentang perubahan.
Kesadaran Kolektif.
Kita sudah punya kesadaran individu sebab agama mengajarkan kita bahwa setiap orang bertanggungjawab pada perbuatannya sendiri. Tapi tentu saja itu belumlah cukup. Kekalahan kita di hampir setiap ajang perebutan kekuasaan di semua kampus cukup menjadi gambaran kurangnya ikatan antar-kader. Sangat susah menggerakkan kader-kader HMI untuk bersatu dalam setiap momen. Kebebasan individu memang harus dihargai, tapi bila eksistensi organisasi terancam, setiap individu dalam organisasi ini seharusnya mulai merapatkan barisan.
Dalam bidang pengkaderan, kesadaran kolektif ini juga harus ditumbuhkan. Begitu banyak komisariat-komisariat yang ”sekarat” atau bahkan sudah mati, dan begitu sedikit kader komisariat lain yang mau mengulurkan tangan. Kasus lain adalah komisariat yang sudah ”sekarat” ini menampik tawaran pertolongan meski sudah tahu bahwa hal itu diperlukan.
Sudah seharusnya HMI dan semua kadernya di seluruh komisariat mulai bersatu lagi dan merapatkan barisan agar kemegahan dan cita-cita besar HMI (lima kualitas insan cita) dapat diperdengarkan ke seluruh negeri.
Kesadaran Sejarah.
Ada continuum dari kesadaran individual ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah. Kader-kader HMI baru sampai pada kesadaran individual. Gambaran tentang masa depan hanya dikaitkan dengan individu, tidak pernah dengan ummat, apalagi dengan sejarah ummat dan bangsa. Kesadaran sejarah berarti kader-kader HMI (secara kolektif) harus aktif sebagai subjek yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak hanya menunggu untuk dikendalikan kekuatan sejarah lain sebagai objek.
Sebagai contoh, dalam bidang politik. Sebagian kita berada di garis depan dalam pembentukan masyarakat madani, dengan clean government, demokrasi, HAM, dan lain-lainnya. Sayangnya, segelintir yang lain malah memanfaatkan hal ini untuk mereguk keuntungan pribadi dengan menekan pihak-pihak yang berkepentingan dengan isu terkait, atau bahkan ada yang secara konservatif menjadi pendukung personal rule, status quo, dan otoriterisme karena gambarannya tentang politik baru sampai kesadaran individual.
Kesadaran tentang Fakta Sosial
Bila orang hanya sampai pada kesadaran individual pastilah system pengetahuannya hanya sampai pada fakta individual. Padahal apa yang menurut kita baik, bukan berarti baik menurut orang lain. Apalagi dalam masyarakat yang semakin heterogen seperti sekarang ini. Yang menurut kader HMI baik pun belum tentu baik menurut masyarakat luas.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa SI-Merah lebih populer dari SI-Putih, dan PKI lebih populer dari partai-partai Islam, di kalangan buruh tani dan buruh pabrik karena ummat tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di pedesaan dan perkotaan. Itu semua disebabkan karena ummat gagal melihat fakta sosial yang muncul bersama industrialisasi. Sosialisme Islam yang diperkenalkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto pun tidak terlalu berhasil karena yang menjadi contoh adalah individu (Rasul, para sahabat, dll) dan bukan sebuah komunitas. Lagipula tidak ada teori Islam tentang sebuah masyarakat Islam-Sosialis.
Islam Kiri yang kemudian dipopulerkan oleh Dr. Hasan Hanafi pada tahun 1981 di Mesir mungkin dapat menjadi rujukan yang berarti. Hasan Hanafi dengan tegas berkata; ‘Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin.....membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama-setara “seperti gerigi sisir”, tidak ada perbedaan kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh’. Sedangkan Eko Prasetyo mendefinisikan Kiri dalam agama sebagai ‘...agama yang meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang patut dibela, dilindungi, dan diperjuangkan’. Ada tiga jawaban dari Eko Prasetyo kenapa memihak kaum miskin jadi prioritas; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam karena kemiskinan adalah ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan dimuliakan. Ketiga, yang paling utama adalah mandat Al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna.
NDP sendiri memberi porsi lebih pada amal saleh yang menegakkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Tapi aplikasi yang diberikan harus kita kembangkan lagi karena kurangnya referensi tentang cara penegakannya dengan Islam secara komunal.
Kesadaran tentang Masyarakat Abstrak
Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang mengatur bukan lagi orang tetapi sistem. Setiap orang diharapkan berpartisipasi dalam sistem yang abstrak, impersonal. Karakteristik perseorangan harus dapat menyesuaikan diri dengan sistem. Sistem sangat bergantung pada kualifikasi objektif, tidak pada kualifikasi subjektif.
Komunikasi bergantung pada sistem yang abstrak dan objektif, tidak kepada orang yang konkret dan subjektif. Komunikasi melalui simbol-simbol budaya akan lebih efektif. Simbol (pengetahuan, seni, filsafat, aksi) memang tidak berhadapan langsung dengan orang, namun memberi rasa bangga menjadi kader HMI skaligus menarik orang-orang di luar HMI untuk lebih memperhatikan kita. Agama, ilmu, dan seni harus bisa dipadukan.
Kesadaran tentang Perlunya Objektifikasi.
Kita harus menyadari pluralitas bangsa ini. Kita harus menyadari bahwa walaupun HMI telah sangat berperan penting dalam perjalanan bangsa, masih ada golongan lain sebagai komponen bangsa pula. Objektifikasi adalah perbuatan objektif semata, melakukan perbaikan untuk seluruh komponen bangsa tanpa pandang bulu. Objektifikasi dimaksudkan supaya Islam jadi rahmat untuk semua, supaya kader-kader HMI benar-benar menjadi kader ummat dan bangsa.
Kualitas insan cita HMI memang menjadi model yang sangat ideal sebagai individu yang mumpuni dan dapat diharapkan menjadi pemimpin ummat dan bangsa. Karenanya, kesadaran-kesadaran di atas diperlukan agar misi HMI ini dapat menjadi kenyataan di tengah perubahan masyarakat sekarang ini, agar tidak hanya menjadi utopia semata. Pola-pola kaderisasi hendaknya disesuaikan agar dapat menumbuhkan kesadaran-kesadaran diatas sehingga kader-kader HMI dapat muncul lagi sebagaimana di masa lalu. Atau mungkin kita sebaiknya merubah tujuan HMI menjadi “Terbinanya Insan-insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil dan Makmur yang Diridhoi Allah SWT” ?
Strukturalisme Transendental
Ada tiga ciri dari struktur, sebagaimana dikemukakan oleh Jean piaget dalam Structuralism (New York: Harper&Row, Publisher, 1970), yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan bentuk), (3) self-regulation (mengatur diri sendiri). Jadi, sebuah hal yang akan dianalisa harus memenuhi syarat-syarat diatas. Secara praksis, kita bisa menggunakan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai objek analisa.
HMI adalah sebuah struktur yang terdiri dari hierarki kekuasaan beserta perangkat-perangkat seperti Konstitusi, Nilai Dasar Perjuangan, Memori-memori Penjelas, dan lain-lain yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Unsur-unsur ini tidak berdiri secara terpisah, melainkan menjadi milik dari struktur HMI. Jadi, HMI memenuhi syarat "wholeness". HMI juga dapat mengalami perubahan bentuk. HMI dapat menambah organisasi otonom, merubah konstitusi agar sesuai dengan perubahan zaman. HMI pada masa lalu adalah organisasi militan karena adanya musuh (PKI) dan kemudian menjadi cenderung lebih politis pada masa sesudahnya. Pada masa ini, HMI sedang mencari perubahan bentuk yang baru lagi. Dengan begitu, syarat kedua dapat terpenuhi. Adanya Memori Penjelas tentang independensi HMI adalah justifikasi yang cukup akan ciri self-regulation. Penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur itu sendiri. Dengan demikian, HMI sebagai sebuah struktur dapat melestarikan diri sendiri dan tertutup dari kemungkinan pengaruh luar.
Strukturalisme sendiri mempunyai tiga ciri utama. Pertama, memperhatikan pada keseluruhan, pada totalitas. Strukturalisme analitis mempelajari unsur, tetapi ia selalu diletakkan di bawah sebuah jaringan yang menyatuka unsur-unsur itu. Jadi, rumusan pertama dari strukturalisme ialah bahwa unsur hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan inter-connectedness) antar-unsur. Kedua, strukturalisme tidak mencari struktur di permukaan, pada peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada di permukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawa (deep structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity). Ketiga, dalam perangkat empiris, keterkaitan antarunsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal).
Strukturalisme transendental bila diterapkan untuk menganalisa HMI akan membawa kita pada kesadaran akan totalitas cita-cita HMI dengan Islam sebagai azasnya dan adanya perubahan-perubahan yang mengikutinya. Harapannya adalah, di akhir analisa nantinya kita akan sedikit mengetahui bagaimana HMI mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai organisasi pergerakan dan organisasi kader yang berazaskan Islam.
The Archeology of Knowledge (Arkeologi Pengetahuan)
Arkeologi Pengetahuan adalah salah satu model pendekatan untuk menganalisis sejarah. Pendekatan ini diambil dari konsepsi Michel Foucault dalam bukunya, The Archeology of Knowledge. Di Indonesia, pendekatan ini masih jarang digunakan dan baru dijumpai satu orang, yaitu Ahmad Baso, dalam Civil Society Versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia.
Secara garis besar, pendekatan sejarah Arkeologi Pengetahuan menitikberatkan pada aspek diskontinuitas peristiwa sejarah yang dikaji. Berbeda dengan pendekatan sosiologi pengetahuan yang berambisi selalu ingin memperlihatkan antara pemikiran dan realitas sosial, pendekatan ini justru sebaliknya. Fakta sejarah, baik dalam bentuknya yang berupa realitas sosial maupun produk pemikiran, ingin dilihat sebagai bagian-bagian yang terkadang terpisah, tetapi dalam beberapa hal menyatu.
Tidak heran bila dalam melihat peristiwa masa lampau, Foucult lebih memilih menggunakan terminologi "retakan", "ambang", "batas", "seri", dan "transformasi", dan bukan melihat peristiwa sejarah sebagai rangkaian fakta yang selalu "berpengaruh" dan membentuk sebuah gugusan "tradisi". Foucault juga menyebutkan empat perbedaan antara arkeologi pengetahuan dan sejarah pemikiran. Pertama, sejarah pemikiran lebih banyak berkonsentrasi pada penemuan pemikiran-pemikiran baru, termasuk pengaruh pemikiran terdahulu terhadap pemikiran sesudahnya. Kedua, Sejarah Pemikiran lebih berorientasi pada esensi atau substansi sebuah pemikiran daripada tingkat permukaannya. Sedangkan Arkeologi Pengetahuan mengungkapkan seluruh kontradiksi yang terdapat dalam setiap diskursus pemikiran, tidak memilah antara esensi dan permukaan. Ketiga, Sejarah Pemikiran lebih menganggap dua hal sebagai variabel sebab-akibat, sedangkan Arkeologi Pengetahuan mengkomparasikan, bukan mempengaruhkan antara satu dengan lainnya. Keempat, ketika esensi dua pemikiran dianggap sama, dalam Sejarah Pemikiran hal itu dapat dijustifikasi sama. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang sebetulnya masih terdapat didalamnya seringkali ditutup-tutupi. Hal ini berbeda dengan Arkeologi Pengetahuan yang menampilkan perbedaan-perbedaan secara utuh. Adapun kesamaan-kesamaan yang mungkin juga ditemukan lebih dilihat sebagai bentuk transformasi dan bukan kesamaan.
Terminologi-terminologi yang digunakan Foucault dapat dipahami sebagai berikut. Yang disebut dengan "retakan" adalah konsepsi sejarah yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa sejarah terbagi dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Periodesasi sejarah tidak dilihat dalam konteks suatu kesatuan yang utuh. Dalam satu masa sejarah yang disebut periodik, terdapat "retakan" atau periodesasi yang, jika digali lebih dalam, mengandung unit-unit periodesasi yang tidak terhitung jumlahnya. Untuk istilah "ambang", Foucault mengatakan bahwa antarperistiwa-sejarah pada hal-hal tertentu saling berhubungan, tetapi batas kontinuitasnya tidak lebih sama dengan batas diskontinuitasnya. Adapun soal "batas", ia jelaskan sebagai terma analisis sejarah yang mengungkapkan kecenderungan umum dari satu masa sejarah, tetapi tetap tidak melupakan peluang terjadinya penyimpangan dari kecenderungan umum yang sedang berjalan.
Istilah "seri" dalam pandangan Foucault dimaknai sebagai sebuah rangkaian peristiwa masa lalu yang "retak", "berambang", sekaligus "berbatasan", tetapi masih dalam sebuah episode besar dari sejarah yang sedang berlangsung. Untuk menandai terjadinya pergeseran sekaligus perubahan sejarah, Foucault menawarkan terma "transformasi". Satu peristiwa sejarah di masa tertentu bisa jadi akan berlanjut pada peristiwa sejarah berikutnya, tetapi tidak akan pernah terulang sama persis seperti semula. Ada penggalan peristiwa sejarah maupun unit-unit gagasan tertentu yang tetap tertinggal di masa lalu, dan ada juga yang kemudia diadaptasi di masa berikutnya. Sebab pada dasarnya, tidak ada satupun momentum sejarah yang betul-betul secara totaliter mempengaruhi momentum sejarah yang lain, meskipun pada masa dan tempat yang sama.
Pendekatan Arkeologi Pengetahuan digunakan untuk melihat suatu sistem pemikiran, atau dalam istilah Foucault disebut formasi diskursif (lebih dikenal dengan "wacana"). Aplikasinya melewati tiga tahapan; positivitas, apriori historis, dan arsip. Positivitas dalam formasi diskursif adalah sebuah "lingkup komunikasi" antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan pada masa itu, meskipun mereka tidak harus saling berbincang, baik secara fisik maupun nonfisik. Positivitas adalah tahapan analisis yang dipakai untuk melihat apakah terjadi komunikasi/sinkronisasi pemikiran antara para tokoh di suatu negara/wilayah dengan tokoh di wilayah lainnya. Tolok ukurnya dapat melalui apriori historis yang terdapat dalam setiap penyataan para pemikir-pemikir tersebut. Misalnya apakah apriori historis yang berada dalam nalar pikir dan nalar gerak pemikir Indonesia sama dengan yang dipikirkan tokoh lain di dunia dalam suatu fase sejarah yang sama.
Medium yang digunakan untuk melihat positivitas tersebut adalah "arsip". Sebab, arsip merupakan sistem pernyataan yang dihasilkan dari apriori historis masing-masing orang yang saat itu ambil peranan dalam sejarah, sekecil apapun. Dalam terma Foucaultian, arsip seringkali disebut sebagai sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan. Maka pendekatan Arkeologi Pengetahuan akan menitikberatkan pada studi dan analisis pernyataan. Sedangkan peristiwa faktual historis ditempatkan sebagai pembanding terhadap pernyataan yang muncul, apakah sesuai atau tidak. Sebab, menurut Foucault, setiap pernyataan yang sudah berbentuk arsip merupakan fenomena otonom yang didalamnya sudah terkandung realitas sosial pada saat arsip itu dilahirkan.
Jadi, sebagai sebuah model analisa sejarah, Arkeologi Pengetahuan lebih "menghargai" setiap pemikiran yang lahir dalam setiap fase sejarah. Model ini tidak hanya melihat sebuah periode sejarah sebagai bagian dari keseluruhan masa, tapi periode sejarah sebagai kesatuan dari pemikiran-pemikiran yang lahir beserta seluruh dinamika yang terjadi dalam fase itu.