Monday, January 8, 2007

HMI dan Strukturalisme Transendental

Seperti yang telah kita pahami pada artikel sebelumnya, HMI adalah layak disebut struktur (dengan segala atribut dan kelengkapannya), dan dapat dibedah dengan strukturalisme transendental. Dalam bagian ini kita akan lebih dahulu mencoba membahas lebih lanjut tentang ciri-ciri strukturalisme dalam HMI.

  1. Inter-connectedness. Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu menyepakati bahwa HMI adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. NDP sebagai dasar HMI sangat jelas menekankan hal ini. Seorang manusia sejati adalah manusia yang memahami tauhid (kesatuan). Dia akan memandang hidup sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berkaitan satu sama lain. Karena dia memandang hidup sebagai satu kesatuan maka keikhlasan adalah jiwa dari setiap perbuatannya sehingga kemerdekaan menjadi jalannya dalam menjalani hidup. Meski demikian, dia juga tunduk pada kebenaran hakiki (Allah SWT) sehingga memeluk Islam dengan sempurna. Penghambaan mutlak kepada Allah menjadikannya adil dan baik kepada sesama. Sifat adil ini pula yang membuatnya tidak rela melihat adanya penindasan sehingga akan senantiasa menegakkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi sebagai amal soleh dengan ilmu sebagai perangkatnya.

  2. Innate structuring capacity. Seperti yang telah dijelaskan dalam NDP, tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Dasar dari semua adalah tauhid. Sesudah itu ada deep structure. Bila dalam Islam yaitu akidah, ibadah, akhlak, syariah, dan mu’amalah, maka dalam HMI ada pengkaderan formal, non-formal, dan informal. Di permukaan, sebagai hasil dari proses pengkaderan ada lima kualitas insan cita. Pengkaderan formal sifatnya immutable (tidak berubah), sedangkan pengkaderan nonformal dan informal bisa saja berubah sesuai kebutuhan kader dan organisasi.


  1. Binary opposition. Karena HMI bersumber dari ajaran Islam, maka juga terdapat dua gejala yang saling bertentangan, yaitu pasangan (azwaaj) dan musuh (‘aduwwun) yang masing-masing menghasilkan ekuilibrium dan konflik. Dalam strukturalisme, kiranya pertentangan yang berupa pasanganlah yang dimaksud. Pertentangan antara “kepentingan” Tuhan dengan kepentingan manusia, badan dengan ruh, individu dengan masyarakat, dunia dengan akhirat, dan sebagainya adalah pertentangan yang menghasilkan ekuilibrium. Sementara itu, pertentangan antara tauhid dengan musyrik, ma’ruf versus munkar, dan sebagainya adalah pertentangan yang menghasilkan konflik sehingga harus dipilih salah satu.

Dengan situasi HMI sekarang, diperlukan sejumlah agenda baru supaya HMI dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, yaitu supaya pengkaderan non-formal dan informalnya tidak ketinggalan jaman. Diperlukan perluasan-perluasan supaya pengkaderan yang ada menjadi lebih efektif. Perluasan itu berupa enam macam kesadaran, yaitu (1) kesadaran tentang perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4) kesadaran tentang fakta social, (5) kesadaran tentang masyarakat abstrak, (6) kesadaran tentang perlunya objektifikasi.

  1. Kesadaran tentang Perubahan.

Kadang-kadang kita masih terhegemoni dengan romantisme bahwasanya HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di negeri ini. Kita juga masih menganggap bahwa HMI adalah jalan yang lempang untuk memperbaiki hidup pribadi dimasa depan mengingat jaringan alumni yang kita punyai. Padahal sebenarnya peran kita sebagai organisasi mahasiswa yang paling didengar pemerintah dan masyarakat sudah mulai tergeser. Entah itu oleh organisasi mahasiswa lain, ataupun oleh anggapan masyarakat yang menganggap organisasi mahasiswa tidak lain adalah pembawa aspirasi parpol.

Kondisi akademis yang akhir-akhir ini mendapat perhatian lebih dari sebagian besar kampus seharusnya juga mendapat perhatian lebih dan dicarikan solusi agar kader-kader HMI tetap dapat berhasil di bidang akademis tanpa meninggalkan organisasinya. Sebagai tempat belajar, HMI juga sudah mulai terpinggirkan dengan gencarnya perkembangan organisasi intra dan ekstrakampus yang lain. Kita yang sekarang sudah terlalu terlekat dengan cap politis. Meskipun hal ini tidaklah sepenuhnya benar, setidaknya menurut kita, tapi kenyataan ini seharusnya menegaskan perlunya kesadaran tentang perubahan.

  1. Kesadaran Kolektif.

Kita sudah punya kesadaran individu sebab agama mengajarkan kita bahwa setiap orang bertanggungjawab pada perbuatannya sendiri. Tapi tentu saja itu belumlah cukup. Kekalahan kita di hampir setiap ajang perebutan kekuasaan di semua kampus cukup menjadi gambaran kurangnya ikatan antar-kader. Sangat susah menggerakkan kader-kader HMI untuk bersatu dalam setiap momen. Kebebasan individu memang harus dihargai, tapi bila eksistensi organisasi terancam, setiap individu dalam organisasi ini seharusnya mulai merapatkan barisan.

Dalam bidang pengkaderan, kesadaran kolektif ini juga harus ditumbuhkan. Begitu banyak komisariat-komisariat yang ”sekarat” atau bahkan sudah mati, dan begitu sedikit kader komisariat lain yang mau mengulurkan tangan. Kasus lain adalah komisariat yang sudah ”sekarat” ini menampik tawaran pertolongan meski sudah tahu bahwa hal itu diperlukan.

Sudah seharusnya HMI dan semua kadernya di seluruh komisariat mulai bersatu lagi dan merapatkan barisan agar kemegahan dan cita-cita besar HMI (lima kualitas insan cita) dapat diperdengarkan ke seluruh negeri.

  1. Kesadaran Sejarah.

Ada continuum dari kesadaran individual ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah. Kader-kader HMI baru sampai pada kesadaran individual. Gambaran tentang masa depan hanya dikaitkan dengan individu, tidak pernah dengan ummat, apalagi dengan sejarah ummat dan bangsa. Kesadaran sejarah berarti kader-kader HMI (secara kolektif) harus aktif sebagai subjek yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak hanya menunggu untuk dikendalikan kekuatan sejarah lain sebagai objek.

Sebagai contoh, dalam bidang politik. Sebagian kita berada di garis depan dalam pembentukan masyarakat madani, dengan clean government, demokrasi, HAM, dan lain-lainnya. Sayangnya, segelintir yang lain malah memanfaatkan hal ini untuk mereguk keuntungan pribadi dengan menekan pihak-pihak yang berkepentingan dengan isu terkait, atau bahkan ada yang secara konservatif menjadi pendukung personal rule, status quo, dan otoriterisme karena gambarannya tentang politik baru sampai kesadaran individual.


  1. Kesadaran tentang Fakta Sosial

Bila orang hanya sampai pada kesadaran individual pastilah system pengetahuannya hanya sampai pada fakta individual. Padahal apa yang menurut kita baik, bukan berarti baik menurut orang lain. Apalagi dalam masyarakat yang semakin heterogen seperti sekarang ini. Yang menurut kader HMI baik pun belum tentu baik menurut masyarakat luas.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa SI-Merah lebih populer dari SI-Putih, dan PKI lebih populer dari partai-partai Islam, di kalangan buruh tani dan buruh pabrik karena ummat tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di pedesaan dan perkotaan. Itu semua disebabkan karena ummat gagal melihat fakta sosial yang muncul bersama industrialisasi. Sosialisme Islam yang diperkenalkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto pun tidak terlalu berhasil karena yang menjadi contoh adalah individu (Rasul, para sahabat, dll) dan bukan sebuah komunitas. Lagipula tidak ada teori Islam tentang sebuah masyarakat Islam-Sosialis.

Islam Kiri yang kemudian dipopulerkan oleh Dr. Hasan Hanafi pada tahun 1981 di Mesir mungkin dapat menjadi rujukan yang berarti. Hasan Hanafi dengan tegas berkata; ‘Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin.....membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama-setara “seperti gerigi sisir”, tidak ada perbedaan kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh’. Sedangkan Eko Prasetyo mendefinisikan Kiri dalam agama sebagai ‘...agama yang meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang patut dibela, dilindungi, dan diperjuangkan’. Ada tiga jawaban dari Eko Prasetyo kenapa memihak kaum miskin jadi prioritas; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam karena kemiskinan adalah ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan dimuliakan. Ketiga, yang paling utama adalah mandat Al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna.

NDP sendiri memberi porsi lebih pada amal saleh yang menegakkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Tapi aplikasi yang diberikan harus kita kembangkan lagi karena kurangnya referensi tentang cara penegakannya dengan Islam secara komunal.

  1. Kesadaran tentang Masyarakat Abstrak

Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang mengatur bukan lagi orang tetapi sistem. Setiap orang diharapkan berpartisipasi dalam sistem yang abstrak, impersonal. Karakteristik perseorangan harus dapat menyesuaikan diri dengan sistem. Sistem sangat bergantung pada kualifikasi objektif, tidak pada kualifikasi subjektif.

Komunikasi bergantung pada sistem yang abstrak dan objektif, tidak kepada orang yang konkret dan subjektif. Komunikasi melalui simbol-simbol budaya akan lebih efektif. Simbol (pengetahuan, seni, filsafat, aksi) memang tidak berhadapan langsung dengan orang, namun memberi rasa bangga menjadi kader HMI skaligus menarik orang-orang di luar HMI untuk lebih memperhatikan kita. Agama, ilmu, dan seni harus bisa dipadukan.

  1. Kesadaran tentang Perlunya Objektifikasi.

Kita harus menyadari pluralitas bangsa ini. Kita harus menyadari bahwa walaupun HMI telah sangat berperan penting dalam perjalanan bangsa, masih ada golongan lain sebagai komponen bangsa pula. Objektifikasi adalah perbuatan objektif semata, melakukan perbaikan untuk seluruh komponen bangsa tanpa pandang bulu. Objektifikasi dimaksudkan supaya Islam jadi rahmat untuk semua, supaya kader-kader HMI benar-benar menjadi kader ummat dan bangsa.

Kualitas insan cita HMI memang menjadi model yang sangat ideal sebagai individu yang mumpuni dan dapat diharapkan menjadi pemimpin ummat dan bangsa. Karenanya, kesadaran-kesadaran di atas diperlukan agar misi HMI ini dapat menjadi kenyataan di tengah perubahan masyarakat sekarang ini, agar tidak hanya menjadi utopia semata. Pola-pola kaderisasi hendaknya disesuaikan agar dapat menumbuhkan kesadaran-kesadaran diatas sehingga kader-kader HMI dapat muncul lagi sebagaimana di masa lalu. Atau mungkin kita sebaiknya merubah tujuan HMI menjadi “Terbinanya Insan-insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil dan Makmur yang Diridhoi Allah SWT” ?

No comments: