Thursday, December 28, 2006
Guardian-dolphin's
The wishes that colors my sighs
Just looking at you makes me hot
A cowardly love is all about looking for mistakes
Your clumsy kindness
Is like dancing waterdrops that I want for myself
I run...
Only believing on my overflowing love
I want to be your special one someday
You will surely accept me, right?
Dance to different colors
Leave the rythm of my heart
Playing at your side
Embrace the precious days
As your Guardian-dolphin
Wednesday, December 27, 2006
Just a bit More...
I was thinking about you.
I thought that was really embrassing
And I really hated it
It's because I am afraid to convey my feelings
Even I suppress it in my head
I can't do anything about my heart.
To make you not able to notice when we meet
And to make it no different from the norm
Is how I plan to talk to you, but couldn't
I am suffering
I ended up lying to you, but...
Just a bit more...
If I can get closer to your heart
Just a bit more...
Try not to erase this moment
The falling tears give me courage
My sighs blend into the orange sky
To me who is too honest, please don't be mean
I wanted to tell you I love you,my heart becomes hot
I wanted to hear your voice
To where that voice is I go
Take it like a whisper, our days together
Because I wanted to be at your side
I wanted to even if it's impossible
I want to deliver this small letter to you
Under the swaying shadows
Sunday, December 17, 2006
Bugis-Makassar
Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata ‘Makassar’? Sebagian besar mungkin akan menjawab; BUSER, PATROLI, tawuran mahasiswa, perkelahian antar-kampung, kasar, kriminal, dan yang sejenisnya. Sebagian lain mungkin akan menjawab; PSM, Pantai Losari, Kapal Phinisi, Sultan Hasanuddin, dan ikon-ikon lain yang dimiliki daerah ini. Dan sangat diragukan akan ada yang menjawab; keberanian, keuletan perantau, ketinggian budaya maritim, atau mungkin prinsip untuk tidak membiarkan kesalahan merajalela.
Apapun pendapat anda, mungkin itulah gambaran subyektif yang jujur tentang sebuah daerah yang dulu punya sejarah manis tentang peradaban. Tidak dapat dipungkiri, citra Makassar (baca; Sulawesi Selatan) di masa sekarang ini sangat tidak dapat dibanggakan. Kalau meminjam idiom di Makassar sendiri, katanya orang Makassar itu pa’bambangang na tolo (cepat marah dan tolol; tidak menggunakan otak). Fakta di lapangan juga mendukung idiom lawas ini. Hampir tiap hari ada liputan tentang Makassar di berita kriminal TV swasta kita. Tapi, benarkah sejarah mengatakan hal yang sama? Apakah fenomena ini memang telah menjadi karakter orang Makassar? Semoga uraian berikut dapat sedikit memberi gambaran.
Kalau kita ingat-ingat lagi pelajaran sejarah waktu sekolah dulu, ada beberapa penggalan yang akan cukup membantu kita. Kita pasti ingat Sultan Hasanuddin yang dulu gigih menentang intervensi Belanda atas sistem perdagangan di tanah Sulawesi. Juga pemberontakan Kahar Muzakkar dan Andi Azis kepada pemerintahan Soekarno karena menganggap Soekarno lebih memperhatikan mantan KNIL daripada milisi rakyat. Ada juga Jenderal M. Yusuf yang membawa rahasia Supersemar sampai ajal karena beliau tidak ingin membahayakan persatuan bangsa. Tentang kebudayaan, mungkin kita tahu Perahu Phinisi yang legendaris dan mampu mencapai Madagaskar dan Eropa sana. Perkampungan Bugis-Makassar juga bisa ditemukan di hampir tiap pesisir Nusantara dan sekitarnya.
Seorang pakar kebudayaan Sulawesi Selatan berkebangsaan Perancis, Christian Pelras[1], mengatakan bahwa masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat, serta pedagang sukses yang paling siap menghadapi perubahan yang cepat. Ini dimungkinkan dengan keberadaan beberapa ciri dalam tradisi mereka yang biasanya dianggap sebagai bentuk spesifik modernitas. Ciri itu antara lain: (1) melek huruf, orang Bugis selalu memperlihatkan kecintaan mereka pada tradisi, yang tidak saja dipelihara lewat tradisi lisan, tapi juga tercatat, mungkin sejak abad ke-14, dalam berjilid-jilid naskah tulisan tangan (lontara), yang disimpan banyak keluarga di hampir seluruh desa-desa orang Bugis di Sulawesi Selatan; (2) ekonomi berorientasi pertukaran, mungkin sejak nenek moyang mereka di abad-abad awal milenium pertama. Kita bisa berspekulasi kalau kemakmuran hasil perdagangan inilah yang melahirkan peradaban awal Bugis; (3) individualisme, mobilitas sosial dimungkinkan seseorang, dalam kondisi tertentu, disamakan dengan orang dari lapisan yang lebih tinggi, misalnya melalui prestasi individual sebagai orang berani (to-warani), orang kaya (to-sugi), orang pintar atau bijaksana (to-macca), orang yang religius (to-panrita). Karakter individualisme inilah yang mengarahkan mereka menjadi keras dan ulet, serta mendorong untuk memperbaiki kehidupan melalui tradisi merantau. Ciri-ciri ini juga mendorong mereka untuk selalu mengembangkan kebudayaan. Perahu Phinisi adalah hanya salah satu tonggak sejarah dari perkembangan teknologi pelayaran mereka yang panjang. Sebelumnya ada perahu Lambo, perahu bercadik, dan lain-lain. Mereka juga punya naskah I Lagaligo yang memuat perjalanan kebudayaan kerajaan-kerajaan di wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar-Gowa maupun hubungan dengan kerajaan lain di Nusantara dan luar Nusantara. Hal ini mencatat Bugis-Makassar sebagai satu dari sedikit kebudayaan maritim yang mempunyai aksara sendiri. Karakter lain yang timbul sebagai akibat dari karakter terdahulu adalah sikap feodalisme dan harga diri yang kuat dipertahankan.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam masa Orde Baru, terjadi pergeseran yang cukup memiriskan. Metode pembangunan sentralistik yang dipaksakan oleh Soeharto dan jajarannya telah mengebiri banyak hal baik di masyarakat Bugis-Makassar. Pada masa itu, perdagangan dipusatkan ke pelabuhan-pelabuhan di tanah Jawa sehingga pelabuhan Makassar tidak lagi menjadi pilihan. Komoditas pertanianpun ditentukan oleh pusat. Pengebirian ini berlangsung begitu lama sehingga sangat terasa dampaknya. Dampak yang paling terasa adalah berkembangnya jiwa pemberontak dan chauvinisme yang semakin mengakar. Pengganyangan etnis Cina[2] pada tahun 1998 dan pencetusan Republik Sulawesi Merdeka[3] pada tahun 1999 adalah contoh yang paling nyata dalam kasus ini.
Panasnya iklim dan kerasnya kehidupan pada masa Orde Baru dan setelahnya semakin menguatkan karakter ‘keras’ pada masyarakat dan kemudian menjurus kasar. Sifat individualisme, dengan empat ciri diatas, yang tetap menjadi salah satu parameter keberhasilan seseorang di masyarakat, menjadikan persaingan hidup semakin keras. Hal ini menyentuh hampir semua golongan masyarakat, tidak terkecuali mahasiswa. Perguruan Tinggi sebagai lembaga persiapan untuk memasuki kehidupan nyata pun didesain keras dan kasar. Ospek, sebuah ritual memasuki dunia kampus, tidak lepas dari skenario ini. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana tawuran mahasiswa menjadi sebuah bagian tidak terpisahkan dalam ritual Ospek mahasiswa di kampus-kampus Sulawesi Selatan.
Bila kita lihat lebih dalam, tawuran ini sebenarnya adalah salah satu metode yang diterapkan untuk menguatkan identitas kelompok masing-masing. Di kampus Mesin, kita menguatkan identitas dengan metode yang hampir sama; mencari musuh. Bedanya adalah, para SC kita mencari musuh bagi mahasiswa baru di kalangan mahasiswa baru sendiri dengan cara menekan habis-habisan sehingga sifat oportunis muncul. Implementasinya adalah di Camp, dengan cara yang sama namun suasana berbeda, kemudian dilanjutkan dengan koordinasi mengadakan kegiatan setelah Camp. Di Unhas dan kampus-kampus lain di Makassar, mereka juga menekan dan memunculkan sifat oportunis itu, tapi tujuannya adalah lebih kepada menimbulkan jiwa pemberontak pada apapun yang akan menekan mereka nantinya. Analoginya adalah sama dengan menahan air di bendungan agar bila saatnya nanti air dilepaskan bersamaan akan mempunyai daya yang lebih kuat. Implementasinya adalah dengan mencari musuh diluar komunitas mereka. Biasanya salah satu mahasiswa baru disuruh memukul mahasiswa fakultas lain (arogansi mereka adalah arogansi fakultas). Pada saat ini, air yang telah terkumpul di bendungan kemudian dilepaskan tiba-tiba sehingga muncullah tawuran itu. Hal ini, bila mereka menang, sekaligus merupakan pembuktian yang rill atas doktrin bahwa kelompok mereka adalah yang terbaik. Kalaupun kalah, mereka akan membalas kelompok yang mengalahkan itu untuk membuktikan superioritas mereka. Metode ini juga pernah diterapkan di ITS oleh Jurusan Teknik Mesin dan Teknik Elektro, tapi kemudian berhasil direduksi melalui pendekatan intelektual dan opini publik yang mencela hal ini.
Jadi, jelaslah bahwa setiap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah gambaran perjalanan yang telah dilalui masyarakat tersebut, tidak terkecuali Bugis-Makassar. Apa yang terjadi di masyarakat Bugis-Makassar saat ini merupakan salah satu tonggak sejarah yang akan menentukan arah perkembangan kebudayaan mereka selanjutnya.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari perjalanan kebudayaan mereka antara lain;
- Sebuah karakter sosial-kolektif merupakan hasil dari perjalanan kebudayaan yang panjang dari sebuah kebudayaan kelompok.
- Sebaiknya kita jangan terlalu cepat menghakimi sebuah kelompok dengan identitas tertentu, karena hal itu bisa saja berubah nantinya, seperti juga Arek Mesin yang tidak lagi keras seperti dulu. Karakter sebuah kelompok dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga bisa berubah menjadi sama sekali lain dari sebelumnya. Kalau mau merubah karakter Arek Mesin, yakinlah hal itu bisa dilakukan.
- Sebuah hasil kebudayaan, misalnya Kapal Phinisi, Baju Khas Daerah, dan kebiasaan-kebiasaan kelompok, hanyalah merupakan hasil pemikiran dan bukan sesuatu yang terlalu sakral untuk bisa dirubah. Kalau hal tersebut memang pantas dirubah karena tidak lagi sesuai, jangan segan untuk merubahnya. Kalau sebuah kebudayaan memang mencerminkan pornografi dan pornoaksi, hal itu harus dirubah.
Terakhir, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi cerminan untuk membuat kita jadi lebih baik lagi.
Billahittaufiq wal Hidayah.
[1] Beliau telah tinggal dan berkeliling Sulawesi Selatan selama beberapa tahun dan telah menulis beberapa buku tentang kebudayaan Bugis-Makassar, diantaranya “Manusia Bugis (2005)”
[2] Peristiwa ini bermula dari pembunuhan seorang anak kecil oleh seorang etnis cina (disinyalir berpenyakit jiwa) sehingga memantik sentimen chauvinis yang berujung pada aksi pengganyangan salah satu etnis.
[3] Pada masa itu kekuasaan Presiden Habibie (putra Sulawesi Selatan) terindikasi akan digulingkan oleh para elit politik negeri ini.
MESIN ITS uBER aLLES
Teriring salam dan do’a semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua dalam menjalankan aktivitas kita sehari-hari. Dan semoga shalawat serta salam tetap terlimpah atas Muhammad SAW.
Mohon maaf sebelumnya jika tulisan ini tidak berkenan di hati teman-teman, atau mungkin mengusik “ketenangan” Kampus Merah Mesin kita tercinta. Tulisan ini adalah sekedar refleksi pribadi penulis atas banyak pertanyaan yang mengudara di atmosfer kampus ini. Akhir-akhir ini sering kita dengar pertanyaan atau sekedar kebimbangan mengenai kehidupan kemahasiswaan di kampus kita ini. Sangat banyak kekhawatiran atas “menurun”nya kualitas mahasiswa mesin ataupun gaung kegiatan kemahasiswaan yang seperti teredam sehingga nampak tidak hidup. Saya yakin banyak yang tidak setuju atas pernyataan ini, seperti halnya banyak yang mengiyakan juga. Untuk mencapai kesepahaman dalam memandang persoalan ini, marilah kita sama-sama melihat lagi bagaimana kondisi mahasiswa Mesin; dulu dan sekarang, beserta kondisi yang membentuk masing-masing generasi.
Mahasiswa jaman dulu dihadapkan pada kondisi represif birokrasi pemerintahan tapi dibela oleh birokrat kampus. Mahasiswa pada waktu itu tidak dibolehkan mengkritik pemerintah (melalui NKK-BKK) tapi diberi kebebasan penuh oleh kampus untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran mengenai masalah sosialnya. Di Mesin, hal ini dimotori oleh aktivis-aktivis OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus) yang diwakili oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Para aktivis OMEK ini kemudian membawa pemikiran dan pola pikir mereka ke dalam kampus dan kehidupan intra kampus (baca; Himpunan). Kenyataan ini memaksa aktivis Intra Kampus yang berbasis di Himpunan untuk juga belajar agar bisa melawan dominasi orang-orang OMEK ini. Persaingan ini terus berkembang dan kemudian memberi stigma Mesin Ijo untuk orang OMEK dan Mesin Abang untuk orang Intra-Kampus. Dampak dari persaingan ini adalah berkembangnya masing-masing kelompok untuk terus memperkuat kelompoknya dengan berbagai ilmu dan strategi. Masing-masing terus belajar melalui buku dan diskusi agar tidak tertinggal dari kelompok lainnya.
Dua kelompok ini kemudian secara bergantian memegang kekuasaan di Himpunan dan berlomba agar kepengurusan mereka lebih baik dari sebelumnya. Hasilnya adalah pembentukan karakter dan kegiatan Himpunan yang kreatif sehingga Himpunan Mahasiswa Mesin disegani oleh jurusan-jurusan lain di ITS. Secara individu, mereka yang beraktivitas di luar Himpunan pun menunjukkan karakter yang sangat menonjol sehingga Anak Mesin selalu dianggap hebat bahkan sebelum menunjukkan siapa dirinya. Hebatnya, “ideologi” Uber Alles dijunjung tinggi oleh kedua kelompok ini sehingga dualisme ini tidak mengganggu kesolidan mereka di luar. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 2001-2002. Pada tahun tersebut, HMI sebagai wakil OMEK di Mesin kemudian mengalami masalah internal sehingga kurang bisa melanjutkan regenerasi kader sampai sekarang.
Pada masa setelahnya, tidak ada lagi kelompok-kelompok yang bersaing di Mesin. Dampaknya adalah menurunnya gairah untuk belajar yang diikuti penurunan kualitas charracter building mahasiswa. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan menurunnya dinamisasi kehidupan mahasiswa Mesin sampai pada kondisi sekarang ini.
Hal diatas memang hanya salah satu penyebab. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi akademis yang lebih ketat adalah juga penyebab yang lain. Kondisi akademis sekarang yang menuntut kita untuk lebih berkonsentrasi adalah tantangan tersendiri. Tapi, bukankah setiap generasi memang mempunyai tantangan yang berbeda? Hal inilah yang membuat setiap generasi punya karakteristik dan pahlawan yang berbeda pula. Kalau pada masa lalu tantangan mahasiswa terbatas pada refresifitas pemerintah, maka pada masa ini kita dihadapkan pada kondisi akademis dan tuntutan orangtua maupun masyarakat yang lebih ketat.
Pertanyaan yang seharusnya mengemuka adalah; bagaimana menyiasati kondisi saat ini? Saya hanya akan menjawab hal ini theoretically karena kapasitas yang terbatas. Beberapa hal yang mungkin jadi pemecahan adalah sebagai berikut:
- Apapun organisasi yang teman-teman masuki nanti, pastikan bahwa organisasi itu bernuansa akademis. Hal ini penting agar kondisi akademis tidak menjadi sebuah penghalang untuk mengembangkan diri lebih lanjut di organisasi tersebut.
- Biasakan untuk tidak memikirkan diri sendiri, karena karakter seseorang akan menonjol bila dia punya sikap seorang pemimpin, dan falsafah dasar dari kepemimpinan adalah melayani. Pengkaderan (POROS MESIN) telah memberi pondasi yang lumayan untuk mengembangkan hal ini.
- Banyaklah membaca buku dan biasakan untuk mendiskusikannya atau mengikutkan isi buku itu dalam diskusi yang teman-teman ikuti. Akan lebih baik kalau kebiasaan ini dilanjutkan dengan menulis isi buku dalam sebuah resensi buku.
- Jangan takut berbeda! Ikutlah dalam organisasi-organisasi selain yang ada di Mesin karena akan memperkaya wacana teman-teman dalam hal-hal yang mungkin kurang diketahui orang lain. OMEK adalah sebuah pilihan yang patut dipertimbangkan karena wacana diskusinya yang lebih luas dan mencakup masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
- Belajar, belajar, dan belajar.... menjadi manusia pembelajar.
Pada akhirnya semua hal ini akan kembali pada kemauan kita untuk tetap mempertahankan status quo atau berubah menjadi lebih baik. Satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah bahwa sebuah kebesaran sejarah bukanlah hanya untuk dibanggakan oleh generasi berikutnya. Sejarah bukan hanya untuk dilihat saja, tapi untuk diambil pelajaran darinya. Para pendahulu kita sudah memberi tonggak pengetahuan untuk membesarkan komunitas Mesin sehingga pantas menyandang Uber Alles. Tugas kitalah untuk meneruskan kebesaran itu, tentu saja dengan segala kondisi kekinian yang berbeda dengan mereka dulu. Jangan biarkan kebesaran itu berlalu tanpa makna sehingga hanya menjadi dongeng usang untuk membuai mahasiswa baru tentang Uber Alles kita.
Transedensi Al-Qur'an
Islam adalah agama universal, pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Hal ini tentu saja sudah sangat sering kita dengar dan mungkin bahkan sudah menjadi semacam doktrin, meski kita juga kadang bingung bagaimana mewujudkannya. Hayo...., percaya ga?
Seperti yang telah kita ketahui, Rasulullah Muhammad SAW membawa sebuah sistem yang disebut Islam. Dalam Islam, ada sistem hukum yang terangkum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an ini adalah kitab yang berisi kumpulan wahyu dari Allah. Tetapi, benarkah bahwa Al-Qur’an itu tak lebih dari hanya kitab saja? Logikanya, karena Rasul diutus untuk ummat manusia yang notabene adalah makhluk sosial maka Al-Qur’an itu seharusnya bersifat sosiologis. Artinya, Al-Qur’an itu berisi kumpulan sejarah, hukum, norma, dan sistem. Tapi bila difahami seperti itu, maka segala hal yang ada dalam Al-Qur’an tidak lebih dari teks sosiologis.
Maka tidaklah salah bila kita akan melihat Nabi Yunus sebagai nabi yang pengecut karena tidak mau berdakwah kepada ummatnya, kita akan melihat Nabi Khidir sebagai seorang pembunuh yang sok karena menghukum atas apa yang belum terjadi. Banyak lagi kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang bila dipahami tekstual maka akan sangat mengganggu. Jadi sebenarnya Al-Qur’an bukan sekedar teks belaka.
Al-Qur’an memuat wahyu yang notabene berdimensi spiritual, maka sudah seharusnya Al-Qur’an itu juga berdimensi spiritual. Dengan demikian seluruh teks di dalamnya tidak bisa dimaknai secara harfiah saja, karena ada makna transenden dalam kandungannya. Maka dengan sendirinya, seluruh hukum, norma, dan sistem dalam Al-Qur’an adalah juga berdimensi spiritual dan tidak dapat hanya dimaknai harfiah saja.
Diatas telah dikemukakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an (sejarah, hukum, norma, maupun sistem) adalah memiliki makna transeden. Artinya, setiap kata dalam Al-Qur’an tidak dapat difahami hanya secara tekstual saja, tapi ada makna lain yang jauh lebih dalam daripada teks itu sendiri. Mari kita ambil contoh dari sistem ibadah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Seorang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat. Syarat sahnya sholat antara lain adalah pelakunya Islam, baligh, berakal, dan suci dari hadas dan najis.
Islamnya seseorang adalah bukan dengan serta-merta, tapi melalui proses pendidikan yang panjang yang dimulai dari rumah sampai pada sekolah. Maka konsekwensi dari adanya pendidikan Islam agar semua ummat Islam dapat sholat dengan benar adalah pendidikan gratis untuk semua orang! Kemudian, agar pertumbuhan seseorang dapat sampai pada tahap baligh dan berakal, maka kebutuhan nutrisi dan gizinya harus terpenuhi dengan baik. Konsekwensi dari adanya keperluan nutrisi dan gizi untuk dapat melaksanakan sholat dengan baik adalah kepedulian pada petani dan nelayan serta pada orang-orang tertindas lainnya. Begitupun halnya dengan adanya syarat suci yang secara tidak langsung mensyaratkan adanya air untuk semua orang memberi konsekwensi perlawanan pada adanya hegemoni orang-orang kaya atas hal yang satu ini. Karena air dan tanah adalah untuk Rakyat, untuk semua rakyat !!!
Karenanya, Hukum Islam itu adalah wilayah publik, dan tidak ada satu halpun dalam Islam yang memisahkan pemeluknya dari konsekwensi kewajiban sosial. Dari contoh diatas dapat pula kita tarik kesimpulan bahwa penerapan hukum Islam secara kaaffah hanya dapat dilaksanakan bila keadilan sosial dan keadilan ekonomi telah ditegakkan. Dan oleh karena penegakan hukum Islam itu wajib bagi kita semua, maka penegakan keadilan itu juga wajib atas kita semua!
Saturday, December 16, 2006
Kiky; my little-beloved
Dia manis, manis banget malah. Phisically exciting dengan segala anugerah Tuhan atasnya.
Tapi bukan itu yang membuatnya jadi sangat berarti. Dia cerdas, dan mau menggunakan otak yang telah dianugerahkan Tuhan atasnya. Dia juga sangat berani, mau terus berjalan dan bahkan berlari di atas hidup yang kadang -kelihatan- tak bersahabat. Sekarang malah lagi nunggu co-ach programnya buat jadi dokter beneran. Masa kepemimpinannya di Sianova -majalah kampus FK Unhas- juga akan berakhir dengan baik. Makasih ya De', dah buat kami begitu bangga atasmu.
Di atas segalanya, dia adalah adikku tercinta. Kakak mana yang ga bangga punya adik sepertinya? Ga tau juga sih knapa aku begitu dekat sama dia. Mungkin karena waktu dia lahir, aku disuruh nginjak ari-arinya ya? Bayangin aja gimana jijiknya. But, somehow it works. Makasih buat orangtua kami yang telah memberi jalan itu, dan Tuhan atas segala keudahanNya.
Sekarang, katanya sih sudah mikirin masa depan gitu. Jadi, dah mulai menyeleksi calon pendamping deh. Sebagai kakak, aku ga bisa nahan buat ga kuatir. Gimana ntar kalo dia ga bahagia? Susah juga, tapi harus bisa direlakan. Akhirnya, semua harus menjalani hidup lebih lanjut, termasuk my little-beloved ini. Aku cuman bisa berdo'a, semoga hidayah dan rahmat ALLAH selalu atasnya, agar dia tetap selalu bahagia.
Tapi, jadi apapun dia, tetap adalah my little-beloved.
Sunday, December 10, 2006
Independensi MENGGUGAT !!!
Dari tulisan “Manifesto Perlawanan” oleh Sdr. Sandhi Anggoro H., ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, pernyataan bahwa kedudukan HMTC berinduk dibawah ITS. Hal ini tentu saja salah, karena tidak ada garis yang menghubungkan kedua elemen ini selain hubungan koordinasi dana. Ormawa mempunyai struktur sendiri yang tidak berhubungan dengan rektorat. Konstitusi dasar kita ( Mubes 3) telah dengan sangat jelas menerangkan hal ini, dan pengingkaran atas hal ini berarti pengkhianatan atas konstitusi. Kedua, bahwa prinsip utama yang harus dipegang dalam proses lobbying adalah mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Hal ini juga belum tentu benar karena pihak yang benar tentu saja boleh melakukan lobbying juga. Dalam kasus ini, pihak HMTC belum tentu bersalah bila mereka tidak mengakui aturan yang ditetapkan rektorat, tentunya dengan asumsi bahwa aturan itu tidak memenuhi syarat-syarat sebuah aturan. Ingat, belum ada kajian yang mengupas hal itu. Ketiga, Sdr. Sandhi juga telah dengan semena-mena memvonis bahwa aksi massa tidak efektif. Sebuah aksi akan menaikkan bargaining position karena pihak rektorat tidak akan mau dicitrakan negatif oleh media. Tapi hal ini akan berhasil bila landasan dalam melakukan aksi sudah cukup kuat, baik dari segi konsep maupun dari segi teknis.
Adapun dengan “Gajah Bertarung Sesama Gajah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah” karya Sdr. Agus Prasetyo pun tidak terlepas dari kesalahan konseptual. Pertama, peng-anggap-an bahwa 14 mahasiswa yang terkena skorsing adalah korban. Sebenarnya, ke-14 orang tersebut adalah pemimpin dari semua gerakan ini. Mereka telah dengan sadar bersedia menjadi elemen panitia dan konsisten menjalankan kegiatan ini dari awal hingga akhirnya. Tentu saja, mereka juga harus konsisten dengan akibat dari perlawanan ini. Analoginya adalah para pejuang Palestina ataupun pejuang kemerdekaan kita dulu. Mereka bukanlah korban dari pertikaian dua negara, tapi para pejuang tak kenal takut yang konsisten atas khittah perjuangan. Mereka bukanlah korban, tapi para martir yang akan menggerakkan perlawanan. Dan, meminta pengampunan merupakan hal yang kontra-produktif dengan tujuan perlawanan karena hal itu berarti legitimasi atas kebenaran aturan rektorat, suatu hal yang seharusnya dihindari. Kedua, peng-anggap-an bahwa tujuan PIO adalah untuk mencabut skorsing. Dari namanya saja, Posko Independensi Ormawa, tentu saja untuk memperjuangkan independensi dan tidak sekedar memperjuangkan pencabutan skorsing. Kalaupun PIO dibentuk untuk memperjuangkan pencabutan skorsing, maka hal ini akan menunjukkan pragmatisme dan ketidak-konsistenan mereka. Skorsing adalah konsekwensi logis dari tindakan melakukan kegiatan diluar ketentuan rektorat, dan mereka harus menyadari itu dari awal kesediaan menjadi bagian dari kegiatan.
Namun, dari sekian kesalahan diatas, kita patut bersyukur bahwa kedua orang ini telah berinisiatif membuka pemikiran kita atas masalah yang terjadi di sekitar kita. Dan dari sekian kesalahan diatas, ada banyak kebenaran yang termaktub dalam kedua tulisan ini.
Untuk menyikapi masalah ini, ada beberapa hal yang semestinya menjadi dasar pergerakan. Pertama, harus ada kesepahaman diantara kita tentang independensi yang kita inginkan. Kalau memang independensi berarti tidak adanya campurtangan Rektorat dalam kegiatan kemahasiswaan, maka kita harus bersedia bertanggungjawab atas akibat kegiatan kita, termasuk kondisi akademis objek kegiatan dan konsekwensi hukum atas kesalahan yang mungkin terjadi. Dan hal ini harus menjadi kesepahaman semua elemen mahasiswa, rektorat, maupun masyarakat luas. Kedua, aturan-aturan yang ditetapkan tentang kegiatan mahasiswa seharusnya menjadi prioritas utama perhatian kita sebelum melakukan kegiatan, mengingat aturan inilah yang akan menjadi rule dan pegangan kita bersama. Jadi, bermainlah dalam penetapan aturan agar bisa tetap tenang dalam melaksanakan kegiatan. Dan bila peraturan telah ditetapkan, konsistenlah. Ketiga, bila telah memulai gerakan, lanjutkanlah sampai akhir agar tidak ada penyesalan lebih lanjut di kemudian hari. (kajian lebih lanjut tentang independensi ini bisa dilihat dalam Buletin M-2U edisi 3, Februari 2006)
Ketiga hal dasar diatas sangat memerlukan keseragaman suara mahasiswa. Dalam kasus ini, peran Ormawa institut sangat diharapkan untuk bisa menyatukan suara massa dari setiap jurusan agar bisa keluar dengan lebih gagah. Ormawa institut juga bisa berperan penting dalam menyeragamkan bahasa (meminjam istilah Sdr. Agus Prasetyo) antara Rektorat dan PIO. Pun, dari masing-masing mahasiswa juga seharusnya ada kepekaan atas masalah ini.
Akhirnya, semoga kejadian ini ada manfaatnya untuk kita semua. Semoga (sama seperti harapan Sdr. Sandhi Anggoro) kita dapat belajar dari kejadian ini. Dan semoga perjuangan teman-teman PIO dapat tercapai, bagaimanapun bentuknya, agar wibawa ormawa kita tetap terjaga.
VIVAT !!!
Perumahan Penyebab Banjir ?
Salah satu penyebab banjir, dimanapun itu, adalah karena tidak adanya lahan untuk menampung air hujan dalam jumlah yang begitu banyak sehingga meluap sampai ke daerah-daerah yang bukan merupakan penampungan air atau lebih dikenal dengan daerah resapan air. Pada kasus Surabaya, lahan daerah resapan air ini terus berkurang dari waktu ke waktu akibat pembangunan yang terus melebar.
Contoh paling aktual dalam hal ini daerah sekitar kampus ITS, yaitu Kelurahan Gebang Putih dan sekitarnya. Dua tahun lalu, daerah ini mempunyai daerah resapan air yang cukup luas berupa Tanah Ganjaran Gebang. Tapi sejak setahun lalu, sebagian besar tanah ganjaran ini sudah ‘ditanami’ tanah urukan beserta perumahan yang bernama Kertajaya Regency. Tanah urukan ini tingginya 3 sampai 5 meter diatas permukaan tanah sekitarnya. Memang sudah ada dua saluran yang menghubungkan perumahan warga dengan sisa tanah ganjaran yang menjadi daerah resapan air. Tapi ternyata itu belum cukup. Saluran pertama menghubungkan daerah resapan dengan Kelurahan Gebang, dengan lebar 1 meter dan dalam 2 meter. Saluran kedua menghubungkan tanah resapan dengan daerah Asempayung, dengan lebar 2 meter dan dalam 2 meter. Bila hanya kedua saluran ini yang menjadi kompensasi atas pembangunan perumahan ini, jelas sangat tidak cukup.
Terbukti kemarin pada saat hujan, daerah Asempayung yang biasanya banjir hanya sebatas mata kaki, sekarang menjadi setinggi lutut. Rumah warga yang berada di Gebang pun tidak lepas dari dampaknya. Dengan jalan yang sudah ditinggikan, maka air kemudian masuk sampai ke rumah warga, padahal kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kampus ITS juga mendapat jatah banjir yang lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi tentu saja Kertajaya Regency selamat dari jatah banjir ini karena letaknya yang hampir 5 meter diatas permukaan tanah sekitarnya.
Saluran yang menghubungkan perumahan warga di sisi barat perumahan dengan daerah resapan air malah memperparah kondisi banjir. Air hujan memang pada awalnya ditampung pada daerah resapan air sisa tanah ganjaran. Tapi dengan curah hujan yang sedemikian besar, aliran air malah terbalik ke perumahan warga. Kampus ITS yang berada di sisi timur Kertajaya Regency juga tidak luput dari luapan air yang sudah tidak bisa diresapkan oleh tanah ganjaran yang tinggal sedikit.
Pertanyaan yang seharusnya muncul adalah; kenapa banjir ini bisa terjadi? Bukankah setiap pembangunan seperti ini pasti memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)? Kalau memang ada, apakah pembangunan perumahan ini sesuai dengan AMDAL yang diajukan? Karena sangat tidak mungkin rasanya, dengan dampak lingkungan sebesar ini, sebuah perumahan dibolehkan untuk didirikan. (Nh.R)
Monday, December 4, 2006
dingin...
malam ini,
aku terbangun lagi
oleh mimpi yang sama
dengan ingatan yang sama
bersama kesepian yang sama
terduduk memeluk lutut
tergugu menopang dagu
malam ini,
sudikah kamu
buatkanku segelas susu hangat
sekedar menghangatkan hati ini
yang selalu saja kedinginan
merinduimu...
aku ingin kamu tau,
aku rindu kamu...!
mungkin kamu tak tau
mungkin kamu tidak merinduiku
mungkin hati ini tetap dibalut dingin yang beku
Kata seorang teman;
Hati yang mengingat akan terasa hangat
Bila dia juga diingat