Sunday, December 10, 2006

Independensi MENGGUGAT !!!

Kasus pemberian skorsing atas 14 mahasiswa Teknik Informatika rupanya mendapat perhatian luas dari kalangan mahasiswa ITS, atau setidaknya dari teman-teman kita yang tergabung dalam LSM Fostra dan LSM Sentra ITS. Ini terbukti dari tulisan kawan-kawan diatas yang mengulas cukup dalam tentang masalah ini, baik dari segi strategi dan taktik (stratak) maupun dari segi pelaku-korban. Sekilas, tidak ada yang salah dalam kedua tulisan ini. Namun, kita akan mengkaji kembali poin-poin penting yang membuat kedua tulisan ini perlu kita pertanyakan lagi.
Dari tulisan “Manifesto Perlawanan” oleh Sdr. Sandhi Anggoro H., ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, pernyataan bahwa kedudukan HMTC berinduk dibawah ITS. Hal ini tentu saja salah, karena tidak ada garis yang menghubungkan kedua elemen ini selain hubungan koordinasi dana. Ormawa mempunyai struktur sendiri yang tidak berhubungan dengan rektorat. Konstitusi dasar kita ( Mubes 3) telah dengan sangat jelas menerangkan hal ini, dan pengingkaran atas hal ini berarti pengkhianatan atas konstitusi. Kedua, bahwa prinsip utama yang harus dipegang dalam proses lobbying adalah mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Hal ini juga belum tentu benar karena pihak yang benar tentu saja boleh melakukan lobbying juga. Dalam kasus ini, pihak HMTC belum tentu bersalah bila mereka tidak mengakui aturan yang ditetapkan rektorat, tentunya dengan asumsi bahwa aturan itu tidak memenuhi syarat-syarat sebuah aturan. Ingat, belum ada kajian yang mengupas hal itu. Ketiga, Sdr. Sandhi juga telah dengan semena-mena memvonis bahwa aksi massa tidak efektif. Sebuah aksi akan menaikkan bargaining position karena pihak rektorat tidak akan mau dicitrakan negatif oleh media. Tapi hal ini akan berhasil bila landasan dalam melakukan aksi sudah cukup kuat, baik dari segi konsep maupun dari segi teknis.
Adapun dengan “Gajah Bertarung Sesama Gajah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah” karya Sdr. Agus Prasetyo pun tidak terlepas dari kesalahan konseptual. Pertama, peng-anggap-an bahwa 14 mahasiswa yang terkena skorsing adalah korban. Sebenarnya, ke-14 orang tersebut adalah pemimpin dari semua gerakan ini. Mereka telah dengan sadar bersedia menjadi elemen panitia dan konsisten menjalankan kegiatan ini dari awal hingga akhirnya. Tentu saja, mereka juga harus konsisten dengan akibat dari perlawanan ini. Analoginya adalah para pejuang Palestina ataupun pejuang kemerdekaan kita dulu. Mereka bukanlah korban dari pertikaian dua negara, tapi para pejuang tak kenal takut yang konsisten atas khittah perjuangan. Mereka bukanlah korban, tapi para martir yang akan menggerakkan perlawanan. Dan, meminta pengampunan merupakan hal yang kontra-produktif dengan tujuan perlawanan karena hal itu berarti legitimasi atas kebenaran aturan rektorat, suatu hal yang seharusnya dihindari. Kedua, peng-anggap-an bahwa tujuan PIO adalah untuk mencabut skorsing. Dari namanya saja, Posko Independensi Ormawa, tentu saja untuk memperjuangkan independensi dan tidak sekedar memperjuangkan pencabutan skorsing. Kalaupun PIO dibentuk untuk memperjuangkan pencabutan skorsing, maka hal ini akan menunjukkan pragmatisme dan ketidak-konsistenan mereka. Skorsing adalah konsekwensi logis dari tindakan melakukan kegiatan diluar ketentuan rektorat, dan mereka harus menyadari itu dari awal kesediaan menjadi bagian dari kegiatan.
Namun, dari sekian kesalahan diatas, kita patut bersyukur bahwa kedua orang ini telah berinisiatif membuka pemikiran kita atas masalah yang terjadi di sekitar kita. Dan dari sekian kesalahan diatas, ada banyak kebenaran yang termaktub dalam kedua tulisan ini.
Untuk menyikapi masalah ini, ada beberapa hal yang semestinya menjadi dasar pergerakan. Pertama, harus ada kesepahaman diantara kita tentang independensi yang kita inginkan. Kalau memang independensi berarti tidak adanya campurtangan Rektorat dalam kegiatan kemahasiswaan, maka kita harus bersedia bertanggungjawab atas akibat kegiatan kita, termasuk kondisi akademis objek kegiatan dan konsekwensi hukum atas kesalahan yang mungkin terjadi. Dan hal ini harus menjadi kesepahaman semua elemen mahasiswa, rektorat, maupun masyarakat luas. Kedua, aturan-aturan yang ditetapkan tentang kegiatan mahasiswa seharusnya menjadi prioritas utama perhatian kita sebelum melakukan kegiatan, mengingat aturan inilah yang akan menjadi rule dan pegangan kita bersama. Jadi, bermainlah dalam penetapan aturan agar bisa tetap tenang dalam melaksanakan kegiatan. Dan bila peraturan telah ditetapkan, konsistenlah. Ketiga, bila telah memulai gerakan, lanjutkanlah sampai akhir agar tidak ada penyesalan lebih lanjut di kemudian hari. (kajian lebih lanjut tentang independensi ini bisa dilihat dalam Buletin M-2U edisi 3, Februari 2006)
Ketiga hal dasar diatas sangat memerlukan keseragaman suara mahasiswa. Dalam kasus ini, peran Ormawa institut sangat diharapkan untuk bisa menyatukan suara massa dari setiap jurusan agar bisa keluar dengan lebih gagah. Ormawa institut juga bisa berperan penting dalam menyeragamkan bahasa (meminjam istilah Sdr. Agus Prasetyo) antara Rektorat dan PIO. Pun, dari masing-masing mahasiswa juga seharusnya ada kepekaan atas masalah ini.
Akhirnya, semoga kejadian ini ada manfaatnya untuk kita semua. Semoga (sama seperti harapan Sdr. Sandhi Anggoro) kita dapat belajar dari kejadian ini. Dan semoga perjuangan teman-teman PIO dapat tercapai, bagaimanapun bentuknya, agar wibawa ormawa kita tetap terjaga.
VIVAT !!!

No comments: